Pada saat itu sudah hampir larut malam. Seorang ayah pemulung masih bekerja memungut sampah di jalan. Meski sudah tua, tangannya masih lincah memungut gelas dan botol plastik bekas air mineral.Â
Di depan warung nasi goreng, lelaki tua itu berhenti sejenak. Dia melihat ke gerobak nasi goreng, lalu melihat ke dalam isi karung. Tak lama kemudian dia kembali berdiri. Mungkin, dia lapar dan bau nasi goreng menggodanya. Namun karena hasil mengais di karungnya masih sedikit, ia menolak untuk membelinya.
 Beberapa pembeli nasi goreng tidak peduli melihat pemulung pergi begitu saja. Sudah menjadi rahasia umum bahwa profesi pemulung dipandang sebelah mata oleh sebagian orang.Â
Pemulung ditempatkan sebagai kasta terendah dalam hierarki pekerjaan manusia. Bahkan tidak sedikit pula masyarakat yang memberikan stigma negatif kepada pemulung: pemulung dianggap pemalas, pemulung dianggap maling yang pura-pura mencari sampah, dan beberapa stigma negatif lainnya.Â
Bahkan, ketika orang-orang ini bangun di pagi hari dan melihat jalanan bersih dari botol plastik, itu karena para pemulung telah membantu membersihkannya.
Tidak semua orang harus didengar. Apalagi jika itu hanya prasangka atau penilaian sepihak dari orang-orang yang mungkin belum sepenuhnya mengenal kita.
Jadi lebih baik menjauh dari mereka dan fokus untuk terus meningkatkan diri.
Inilah yang dilakukan Sugiantoro, seorang lelaki tua yang berprofesi sebagai pemulung.
Pria kelahiran 1959 ini mengaku sering diejek dan dianggap maling karena pekerjaan yang dilakukannya setiap hari.
"Saya suka disebut maling, sama seperti tetangga saya, tapi saya tidak mau repot. Lagipula, sebenarnya aku juga bukan pencuri," katanya
Sugiantoro adalah ayah dari empat anak, dua lainnya sudah menikah dan memiliki kehidupan sendiri.
Untuk menghidupi keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya, Sugiantoro berkeliling mencari tempat pembuangan sampah, memulung, dan memilah sampah plastik dan kardus untuk dijual kembali ke pengepul.
Ia mengaku pendapatannya tidak menentu. Beruntung jika dalam sehari ia bisa mengumpulkan uang Rp 30 ribu - Rp 50 ribu. Namun, jika dia tidak, dia hanya bisa membawa pulang Rp. 15 ribu.
Namun, dia tidak ingin anak-anaknya bernasib sama seperti dirinya. Setiap hari ia bekerja keras mengumpulkan pundi-pundi rupiah agar bisa menyekolahkan anak-anaknya, agar kelak nasib mereka lebih baik darinya.
"Saya katakan kepada anak-anak saya, Anda harus pergi ke sekolah, jika Anda harus pergi ke perguruan tinggi. Jangan pikirkan biayanya, biar saya saja yang bekerja," imbuhnya.
Menurut Sugiantoro, untuk berpendidikan tidak harus kaya. Selama ada kemauan untuk berusaha dan berdoa, tidak ada yang tidak mungkin.
Namun, dia tidak ingin menjadi hamba yang durhaka kepada Tuhannya. Setiap hari, Sugiantoro tidak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslim, yaitu shalat 5 waktu.
"Inilah takdir saya. Saya ikhlas dan senang. Saya bersyukur atas segala nikmat yang Tuhan berikan kepada saya, tak terhitung jumlahnya," tutupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H