Perhatianku tertuju pada coffee table di hadapanku ketika kami, Aku dan Endy, sedang berbincang soal minat baca masyarakat Indonesia di salah-satu kedai kopi di Tasikmalaya. Coffee table itu setinggi lutut, berbentuk persegi panjang dan menggunakan kaca pada bagian atasnya. Di kolong meja itu, terdapat sesuatu seperti rak terbuka yang sekarang biasa digunakan sebagai sandaran kaki (tapi setahuku, bukan itu fungsinya). Aku tidak tahu apa namanya.
"Kamu tahu fungsi sesuatu di kolong itu, Ndy? Dan apa namanya," aku menunjuk rak terbuka itu.
Endy melihat melalui kaca meja, memperhatikan kolongnya dengan saksama. "Mungkin untuk memperkuat struktur. Tapi kayaknya bukan." Endy berpikir sejenak, lalu berkata, "itu seperti tatakan untuk meletakkan sesuatu. Mungkin untuk sandaran kaki?"
Aku menggeleng. "Coba kamu cari di google gambar, kata kuncinya 'coffee table.'"
Endy membuka HP-nya, lalu mengetik.
"Ketemu?," tanyaku. "Di gambar-gambar itu biasanya di atas mejanya diletakkan secangkir kopi atau teh. Terkadang ada juga yang meletakkan asbak, vas buanga, dan lain-lain. Tapi apa yang diletakkan di... Karena kita belum tahu namanya, sebut saja 'miji.' Apa yang diletakkan di miji dalam gambar-gambar itu?"
Endy memperlihatkan layar ponselnya kepadaku. "Buku," katanya.
"Ya," kataku. "Memang itu fungsi awalnya." Aku menceritakan kepadanya bahwa dahulu kedai-kedai kopi selalu menyediakan bahan bacaan seperti koran, majalah, terkadang juga ada komik. Di masa kanakku, aku ingat bahwa di ruang-ruang tunggu di apotek, salon, rumah sakit, car wash, masih tersedia bahan-bahan bacaan. Zaman itu, internet masih belum populer.
Di Inggris, pada tahun 1650-an, kedai kopi pertama di Eropa Barat didirikan di Oxford oleh seorang pemuda bernama Jacob. Pada awal kemunculannya, minuman berwarna hitam itu dianggap berbahaya. Kopi dikenal sebagai "minuman revolusioner" penggerak massa karena membuat orang yang meminumnya menjadi gelisah.
Tak lama setelah kedai Jacob dibuka, Raja Charless II sempat membatasi kedai-kedai kopi untuk beroperasi. Pada masa itu, kedai kopi menjadi tempat favorit semua kalangan. Menjadikannya wadah berkumpulnya berita-berita hangat dan isu-isu panas. Udara di kedai kopi tidak hanya pekat oleh aroma kopi dan tembakau, tapi juga "aroma demokrasi." Ada ungkapan yang populer pada zaman itu yang sekarang hanya jadi slogan belaka: "di hadapan kopi, kita semua sama."