Mohon tunggu...
M Bayu Dwi Saputro
M Bayu Dwi Saputro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang debt collector

Hobi membaca, tertarik pada bidang filsafat, literasi, sastra, sejarah, seni, dll.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apa Namanya?

10 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 11 Desember 2024   22:05 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perhatianku tertuju pada coffee table di hadapanku ketika kami, Aku dan Endy, sedang berbincang soal minat baca masyarakat Indonesia di salah-satu kedai kopi di Tasikmalaya. Coffee table itu setinggi lutut, berbentuk persegi panjang dan menggunakan kaca pada bagian atasnya. Di kolong meja itu, terdapat sesuatu seperti rak terbuka yang sekarang biasa digunakan sebagai sandaran kaki (tapi setahuku, bukan itu fungsinya). Aku tidak tahu apa namanya.

"Kamu tahu fungsi sesuatu di kolong itu, Ndy? Dan apa namanya," aku menunjuk rak terbuka itu.

Endy melihat melalui kaca meja, memperhatikan kolongnya dengan saksama. "Mungkin untuk memperkuat struktur. Tapi kayaknya bukan." Endy berpikir sejenak, lalu berkata, "itu seperti tatakan untuk meletakkan sesuatu. Mungkin untuk sandaran kaki?"

Aku menggeleng. "Coba kamu cari di google gambar, kata kuncinya 'coffee table.'"

Endy membuka HP-nya, lalu mengetik.

"Ketemu?," tanyaku. "Di gambar-gambar itu biasanya di atas mejanya diletakkan secangkir kopi atau teh. Terkadang ada juga yang meletakkan asbak, vas buanga, dan lain-lain. Tapi apa yang diletakkan di... Karena kita belum tahu namanya, sebut saja 'miji.' Apa yang diletakkan di miji dalam gambar-gambar itu?"

Endy memperlihatkan layar ponselnya kepadaku. "Buku," katanya.

"Ya," kataku. "Memang itu fungsi awalnya." Aku menceritakan kepadanya bahwa dahulu kedai-kedai kopi selalu menyediakan bahan bacaan seperti koran, majalah, terkadang juga ada komik. Di masa kanakku, aku ingat bahwa di ruang-ruang tunggu di apotek, salon, rumah sakit, car wash, masih tersedia bahan-bahan bacaan. Zaman itu, internet masih belum populer.

Di Inggris, pada tahun 1650-an, kedai kopi pertama di Eropa Barat didirikan di Oxford oleh seorang pemuda bernama Jacob. Pada awal kemunculannya, minuman berwarna hitam itu dianggap berbahaya. Kopi dikenal sebagai "minuman revolusioner" penggerak massa karena membuat orang yang meminumnya menjadi gelisah.

Tak lama setelah kedai Jacob dibuka, Raja Charless II sempat membatasi kedai-kedai kopi untuk beroperasi. Pada masa itu, kedai kopi menjadi tempat favorit semua kalangan. Menjadikannya wadah berkumpulnya berita-berita hangat dan isu-isu panas. Udara di kedai kopi tidak hanya pekat oleh aroma kopi dan tembakau, tapi juga "aroma demokrasi." Ada ungkapan yang populer pada zaman itu yang sekarang hanya jadi slogan belaka: "di hadapan kopi, kita semua sama."

Mereka, warga kedai kopi, tidak pernah kehabisa "amunisi" untuk berdiskusi karena setiap kedai kopi selalu menyediakan bahan bacaan di miji mereka. Dengan membeli secangkir kopi murah, mereka tidak hanya mendapat suasana nyaman, tapi juga bahan bacaan. Dari bacaan itulah mereka mendapat informasi baru, berita baru, opini baru, lalu berbincang lagi. Kedai kopi menjadi wadah inkubasi bagi dialektika intelektual. Dengan cepat, masyarakat Inggris semakin kritis. Pemerintah jadi kurang leluasa untuk "semena-mena."

Kami menyeruput minuman kami masing-masing, menghisap rokok, sambil membayangkan keseruan zaman itu. Di Inggris era Raja Charless II, pelanggan-pelanggan kedai kopi menikmati minuman mereka sambil berbincang tentang berita-berita di koran yang disediakan di atas miji. Di Tasikmalaya era Artificial Intelligence, dua pemuda menikmati kopi sambil berbincang tentang miji. Sebuah rak kosong di kolong meja yang bahkan tidak kami ketahui namanya dan hampir lupa fungsinya. Diabaikan dan hanya sedikit terkena cahaya lampu. Tapi dia tetap tegak melintang di kolong itu hingga hari ini, meski tanpa selembar koran pun yang rebah di atasnya.

Aku mendapat sebuah ide. "Ndy," kataku. "Bagaimana kalau kita bikin buku kumpulan esai tentang benda-benda yang sudah kehilangan fungsinya, terlupakan, tapi mereka tetap setia untuk ada. Ada telepon umum yang tak lagi disambangi seseorang yang merindukan kekasihnya, ada trotoar yang mulai kehilangan pedestriannya, lalu ada apa lagi menurutmu?"

"Ma'ruf Amin," jawab Endy.

Bayu, 5 Desember, 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun