Gadis itu membawa motor hitam yang sudah tidak dicuci berminggu-minggu, karena hantaman krisis iklim yang tidak bisa ditolerir. Baginya, asal motor itu bisa jalan, ada bensin, kendaraan berfungsi lebih dari cukup. Padahal, spion sebelah kirinya sudah tidak utuh, perlu baut dan sekrup untuk membuatnya stagnan, ditambah aktivitas ganti oli yang seringkali luput dari list kewajiban. Dalam perjalanannya sekitar 32 km, terlintas pertanyaan dari temannya saat bertemu di sebuah taman kota. Niluh namanya, perempuan asal Bali yang lama tinggal di Lampung. Ia bertanya padanya, "kapan istirahatmu?", "kamu tidak lelah?", "serius, dari pagi kamu habiskan akhir pekanmu untuk hal ini?"
"Aku tidak tahu, mungkin karena suka", "aku tidak ingin mereka bernasib sama denganku", imbuhnya. Selang beberapa waktu, gadis itu termenung. Ia ingin sekali menjawab panjang. Namun, lidahnya kelu. Pemikiran Afutami, belakangan berpengaruh besar dalam proses berpikir gadis itu. Ya, ia memiliki kebiasaan, berpikir sesuai buku yang dibaca. Kadang tidak konsisten. Untung, rekomendasi buku bacaannya belakangan cukup bisa diterima nalar. Bukan buku karya Carlos Mara Domnguez, Dave Gray, atau Ki Darmaningtyas, yang butuh waktu dalam memahami---baginya.
Dari hasil membaca buku, Esai: A World without States, dan terjemahan Unmasked Spoken World Open Mic di Jakarta dari Boston 2017, ia menemukan hikmah kalau mencintai Indonesia bukan hanya sebuah hal simbolik. Memakai batik, mendukung produk lokal, memasang bendera, atau menghapal pancasila. Tapi, memperjuangkan hak dan keadilan manusia, juga salah satunya. Seperti Jerman yang membangun Memorial to the Murdered Jews of Europe untuk mengigat Holokaus.
Gadis itu memilih untuk mencintai Indonesia dengan membantu isu pendidikan. Sejak enam tahun lalu, ia berharap bisa terus bersembunyi tanpa diketahui. Tapi, menyuarakan sebuah isu untuk dampak yang besar, seringkali dipaksa tampil di muka publik. Ia sudah berusaha melakukannya, meskipun setelahnya ia Cephalgia.
Gadis itu kembali melamun, sambil mendengarkan beberapa lagu di atas motor. "Kapan ya, aku akan berhenti?", "Atau mungkin Tuhan menciptakanku untuk misi ini di dunia?". Pikiran itu muncul, setelah ia membaca 33 halaman buku Dea Anugerah. Seorang pewarta, laki-laki, suami ajaib yang selalu membuat tulisan dengan cemerlang.
Pada bab "Tua seperti Clint Eastwood", Dea membuat prolog:
Menurut orang-orang tua Colonus dalam lakon Sophocles, Oedipus at Colonus, urut-urutan nasib manusia mulai dari yang terbaik sampai yang paling mengenaskan adalah tidak pernah dilahirkan, mati muda, dan hidup sampai tua.
Akibat prolog itu, kini ia limbung.
Tapi, kabar terakhir, ia akan berupaya untuk bersambung.
Depok, 5 Maret 2023
Renita Yulistiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H