Saya dihentikan pada sebuah video podcast Denny Sumargo bersama Tante Lala: perempuan yang belakangan mencuri perhatian saya dan warganet. Perbincangannya ringan, tapi deep. Beruntung, saya sempat menontonnya sebelum tidur---alhasil mengubah pola pikir menulis saya.
Sebelumnya, saya sudah siapkan draft tulisan panjang. Hasil perjalanan ke Jawa Timur dari sudut pandang personal. Bagus, untuk sebuah tulisan yang pilu---layaknya pasar seseorang yang baru putus cinta lah.
Narasinya kuat, menggambarkan jika saya orang paling menderita sedunia. Menyedihkan! Cocok untuk sebuah kisah tragis dan menggugah pembaca untuk iba.
Setelah membaca ulang, saya putuskan untuk menghapusnya dan lanjutkan menulis draft satunya saja: soal pendidikan.
***
Usia Tante Lala, tidak terpaut jauh dengan saya---ia lebih muda kisaran satu dua tahun. Selama bincang durasi tiga puluh menitan, saya tidak mendengar keluhan yang berarti.
Padahal, saya merangkum banyak titik terendah darinya: kehilangan orangtua, ditinggalkan suami, mengurus anak seorang diri, dan pencari nafkah tunggal. Namun, ia menceritakannya dengan begitu enteng.
Berkaca pada diri, Tante Lala menjadi sosok yang saya kagumi. Hidupnya tidak neko-neko, prinsipnya jelas, dan selalu positif dengan hidup. Pada kasusnya, saya menangkap jika keadaan bisa memaksa kita untuk kuat.
Rafa: anaknya, adalah "keadaan" yang selalu disebut Tante Lala dalam sepanjang video. Rafa, ibarat nyawa baginya. Lumrahnya kasih sayang seorang ibu kepada anak.
Di balik sosok Tante Lala yang sudah berhasil menjadikan kelamnya hidup sebagai hiburan---saya yakin, ada proses panjang bagi Tante Lala untuk bisa berdamai dengan masa lalu. Apalagi terdapat pengulangan di beberapa hal, yang tidak mengenakan.