Pendidikan, merupakan salah satu yang terkena dampak akibat pandemi covid-19. Semua pembelajaran tatap muka dialihkan secara daring dan jarak jauh, dengan konsep belajar dari rumah. Tambahannya, kebijakan besar menghapus Ujian Nasional (UN) pun sudah dilakukan.
Namun, Apakah "Belajar dari Rumah" memiliki persepsi yang sama pada praktiknya? Apakah seirama dengan tujuan yang selama ini digaungkan?
Jika menjawab cepat dengan beberapa hasil riset yang saya lakukan dua bulan belakangan. Saya berpendapat jika persepsi "Belajar dari Rumah" belum memiliki sebuah keseragaman. Banyak sekali informasi bahkan kebijakan yang bias di berbagai pihak. Bahkan ketiga pihak utama yang berperan di dalamnya, yaitu guru, siswa, dan orangtua.
Selama dua bulan, saya mewawancarai 18 orang secara bertahap di daerah Depok, Bekasi, Cikarang, dan Tangerang. Saya memetakan dengan jumlah 5 orang guru sekolah, 7 orangtua, dan 6 orang pelajar. Selain menjadi kebutuhan pekerjaan, sayapun penasaran apa tantangan yang dihadapi mereka selama pandemi ini.
Saya juga mengikuti beberapa diskusi daring yang membahas soal pendidikan. Di antaranya, sharing session yang dilakukan Taman Baca Inovator bersama Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), pada 30 April lalu.
Pada sesi ini, dikatakan bahwa belajar jarak jauh bukan berarti semua menjadi daring. Banyak pilihan yang bisa dipertimbangan. Memanfaatkan life skill dan kreativitas dengan orangtua di rumah misalnya. Cara lainnya adalah memaksimalkan teknologi lain, jika internet sulit dijangkau.
Seperti yang sudah diaplikasikan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Wilayah yang belum memiliki akses internet yang stabil. Ibu Titis adalah salah satu guru SD, mengaku terbantu dengan program Radio Republik Indonesia (RRI) dengan mengajak komunitas guru berkolaborasi mengisi program belajar yang disiarkan khusus selama pandemi.
Di sisi lain, pemerintah juga mendukung pembelajaran melalui saluran TVRI. Tapi, di daerah Cikarang contohnya. Hanya 30% dari jumlah siswa per kelas yang tertarik dengan pembelajaran pada saluran TVRI. "Anak-anak beberapa tidak mau disuruh belajar bareng TVRI, maunya tugas langsung dari gurunya." Ujar Ibu Is (Guru SDN Pasirsari 02).
Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu pendidikan Indonesia saat kondisi seperti ini? Kemarin pada 06 Mei, saya juga mengikuti lagi diskusi daring yang diselenggarakan Wahana Visi Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
Tema yang diangkat sangat menarik, "Suaraku Lawan Covid-19: Implementasi Kebijakan Belajar dari Rumah - Perspektif Anak". Diskusi daring ini menghadirkan beberapa narasumber seperti:
1. Lenny Rosalin (Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia)
2. Tira Maya Malino (Analis Kebijakan Publik Wahana Visi Indonesia)
3. Jamjam Muzaki (Seknas SPAB Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)
4. Ade (Ketua Forum Anak Jakarta Utara)
5. Mira (Ketua Forum Anak Waupnor, Biak, Papua)
Diskusi ini sedikit mencerahkan saya. Bahwa, ternyata sangatlah penting untuk "Mendengarkan Suara Anak." Anak yang notabene sebagai pelaku pembelajaran. Pada diskusi ini, dihadirkan suara dari 30 anak perwakilan wilayah barat dan timur. Mereka berasal dari berbagai wilayah dan latar belakang. Inilah gambaran 6 dari 30 suara Anak Indonesia.
Ternyata, ada banyak sekali suara yang selama ini kita singkirkan. Saya tahu, keadaan ini memang sangat berat bagi guru, siswa, dan orangtua. Bukan hanya sebatas kuota dan jaringan internet. Beban guru yang harus menuntaskan bab dalam kurikulum tahun ajaran. Serta belum ada pedoman sebagai pakem pembelajaran saat ini. Beban siswa yang harus mengerjakan tugas tanpa dijelaskan materi. Juga, beban orangtua yang bertambah bukan hanya mendampingi tapi juga menggantikan peran guru di rumah.
"Jadi, apakah kita sudah siap untuk menerapkan pembelajaran elektronik dan jarak jauh untuk seterusnya?"
Jawabannya, kita masih pada tahap beradaptasi dengan suasana yang baru--dan sudah saatnya kita bergerak dan saling membantu. Terutama para komunitas, lembaga, dan yayasan yang fokus dalam hal pendidikan.
***
Tulisan ini hanyalah sebuah opini. Penulis secara sadar mengakui bahwa masih perlu melakukan banyak riset dan referensi kejadian di lapangan. Semoga, pendidikan Indonesia segera menuju ke arah yang lebih baik
Renita Yulistiana
07 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H