Mohon tunggu...
Renita Yulistiana
Renita Yulistiana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan

I wish I found some better sounds no one's ever heard ❤️😊

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kenapa Harus Pendidikan Bagus?

3 September 2019   21:03 Diperbarui: 4 September 2019   09:57 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mencoba menjawab pertanyaan yang sudah saya buat sendiri. Selama kurun waktu tertentu, saya menelaah "Kenapa kita harus pilih sekolah atau kampus yang bagus?"

Pagi itu, saya melihat sebuah tampilan presentasi. Terdiri dari beberapa slide. Namun, hanya satu yang paling saya perhatikan. Slide perkenalan diri yang berisi asal usul pendidikan dan pengalaman dalam organisasi, serta pembaruan berbagai macam pelatihan yang sudah dieksekusi olehnya. Sontak, pikiran saya terbuka. Jauh melebar. Masa di mana saya sudah tidak peduli lagi akan gelar dan almamater. Karenanya, saya justru semakin memuncak untuk memperbaiki pendidikan.

Saya hidup dari keluarga sederhana yang bisa dibilang tidak terlalu peduli dengan pendidikan. Meskipun, bude pakde dan keluarga besar lain berlomba untuk menguliahkan anaknya di kampus terbaik. Seingat saya, ibu hanya bilang "Kerja dulu aja ya, kuliahnya nanti aja." Memang saya sempat depresi, ketika jalur undangan melalui program bidik misi gagal saya dapatkan. Tapi saya berhak gagal, karena saya mengakui usaha saya tidak maksimal. Beruntung, saya besar di lingkungan yang menyenangkan. Lingkaran pertemanan membuat saya sadar dan berani untuk melanjutkan kuliah walaupun hanya modal nekat.

Jika diizinkan mengulang pada tahun 2011 lalu, saya rasanya ingin mengambil saja beasiswa dari UAI (Universitas Al Azhar Indonesia) meskipun hanya jurusan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Atau saya akan menunda kuliah sambil bekerja dan memilih belajar lagi untuk persiapan tes masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri) setelahnya. Tapi apa daya, tidak ada waktu yang bisa diulang. Semua harus berjalan ke depan. Semakin saya dipertemukan dengan orang hebat oleh alam. Semakin kecil pula nyali yang saya punya untuk mendeskripsikan siapa saya.

Ini bukan perkara tidak apa-apa menjadi lulusan PTS (Perguruan Tinggi Swasta). Bagi saya, kalimat "Semua kampus sama saja kok" hanya sebuah basa basi upaya membahagiakan. Realitanya, masyarakat lebih "mengakui" kampus yang memang menjual. Jikapun PTS, sudah pasti PTS yang bagus sekaliber Atmajaya, Binus, LSPR, Prasmul, dsb. Sementara di luar lingkaran itu, hanya semacam plakat yang akan dipajang di atas lemari es.

Tersisa ingatan perkataan seorang teman dan sebuah thread di twitter membicarakan untuk apa lulus 3,5 tahun tetapi CV masih kosong, yang membuat semangat saya tetap meletup. "Loh emang kenapa swasta? Kalau pengalamannya lebih banyak kamu daripada lulusan PTN tapi fresh graduated juga yang diambil kamu kok."

Apakah ini sebuah ketidakbanggaan akan almamater? Tidak juga begitu, rasanya kurang tepat. Sebab, saya pernah menuliskan hal baik tentang almamater di blog pribadi. Ini hanya akibat dari beberapa umpatan yang sangat menyakitkan, yang tidak sesuai dengan kapasitas saya. Setidaknya, proses ini memberi sebuah aksi final. Membawa saya berpikir lebih bijaksana. Mengulang-ulang nasib dengan merendahkan apa yang saya capai, hanya sebuah kegiatan cuma-cuma.

Ada banyak hal yang bisa saya lakukan untuk memperbaikinya. Mengejar S2 di kampus ternama, membuat kegiatan positif di lingkup organisasi, atau mengikuti berbagai jenis pelatihan dan bekerja dengan baik demi "membaguskan" portofolio saya kelak. Sebuah lembaga pendidikan memang tidak menjamin kita akan berhasil. Toh, definisi berhasil kita juga pasti berbeda-beda. Namun, saya akui lembaga pendidikan yang bagus akan memberi "kemudahan" menuju keberhasilan. Tidak dipungkiri, lingkungan dengan pendidikan bagus akan membawa kita dalam pola pikir yang menawan. Salah satunya, pandangan kita akan terlatih dalam memaknai sebuah masalah sosial.

Takdir, membuat saya meresapi makna "Menghargai Pendidikan". Sebab, pendidikan yang menurut saya biasa saja justru mengabulkan beberapa mimpi mimpi kecil yang dulu hanya bisa dirapalkan.

Renita Yulistiana

Depok, 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun