Toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu. Istilah ini umumnya dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada di dalam diri seorang pria. Laki l
aki tidak boleh menangis, laki laki harus perkasa, laki laki harus kuat. Hal ini adalah pola pikir masyarakat Indonesia tentang laki laki seharusnya bagaimana. Memang pada dasarnya, sifat maskulin untuk seorang laki laki itu baik. Namun, hal ini malah akan menjadi toxic atau salah arah ketika laki-laki harus selalu dituntut untuk menunjukan sikap maskulinitas nya hanya agar menghindari stigma "laki laki tidak boleh lemah". Padahal, seorang laki-laki juga bisa saja memiliki sifat yang lembut atau gentle, ramah, atau sensitif, dan hal ini bukanlah hal yang salah pada laki-laki. Contoh, toxic masculinity yang kerap terjadi di Indonesia adalah, menganggap "keren" kebiasaan yang tidak sehat, seperti merokok, minum minuman beralkohol, bahkan mengonsumsi obat-obatan terlarang, heteroseksisme dan homophobia, tidak membutuhkan kehangatan atau kenyamanan, tidak perlu menerima bantuan dan tidak boleh bergantung pada siapa pun, harus memiliki kekuasaan dan status sosial yang tinggi agar bisa dihormati oleh orang lain, dan masih banyak lagi. Sikap toxic masculinity juga tercermin dari seorang laki laki yang tidak boleh melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh perempuan, seperti menjahit, memasak, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Toxic masculinity tentu bukanlah sikap yang baik untuk dilakukan. Selain membuat pria memiliki beban sosial, konsep ini juga membuat mereka cenderung memelihara sikap negatif, seperti tidak mau meluapkan emosinya atau sulit mencari katarsis, dan hal ini bisa berisiko merusak kesehatan mentalnya.
Budaya patriarki menjadi budaya yang masih dipertahankan di Indonesia karena pemikiran generasi tua yang ditanamkan kepada generasi muda. Pola pikir ini akan menimbulkan pemikiran individu-individu untuk menempatkan diri kepada peran yang disesuaikan dengan gender yang dibangun dengan berbagai faktor seperti budaya patriarki dan konstruksi sosial di Indonesia.
Sebelum mengakhiri opini ini, mari kita sadari bahwasannya, menjadi dominan tidak seharusnya ada di dalam jiwa laki laki. Kita sebagai laki-laki, boleh untuk mengekspresikan diri dan berempati tanpa harus memikirkan stigma bahwa laki laki lemah jika menangis, laki laki dianggap tidak wajar jika memasak. Mindset tersebutlah yang sebenarnya muncul dari individu kita sendiri. Laki-laki sejatinya tetap harus menjaga kehormatan seorang perempuan tanpa harus merendahkannya dahulu. Perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan hak dan kewajiban, tidak ada yang berbeda dari keduanya melainkan hanya gender. Perempuan juga berhak mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan oleh laki laki. Buang jauh jauh mindset yang buruk dari adanya budaya patriarki ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H