Pagi merambati mentari, saat sembilan anak menatap Sabrina penuh harap. Mereka menuntut makan siang di restoran Jepang. Sepuluh kepala untuk makan siang di restoran Jepang bukan sesuatu yang mudah di putuskan untuk seorang wanita seperti Sabrina. Bergegas ia browshing menu termudah dan murah, tanpa berganti pakaian melesat menuju hypermart terdekat. Setelah mendapatkan kampyo, dashi, myrin, kyuri, nori dan sushi su di bergegas pulang. Bak di kejar hantu dia memprosesnya segera bahan-bahan itu. Wajahnya nampak puas setelah beberapa aneka sushi telah tersaji. Salmon, tuna, fillet chicken all about sushi. Masih sempat dia membuatkan chicken katsu sebagai pelengkap. Langkahnya tenang menuju beranda samping meskipun keringatnya masih saling susul, di hampirinya tempat berkumpul dua anak dan keponakannya. “Oke lady and guys, saatnya makan siang, suasana sedang tidak kondusif. Tidak perlu ke Sency untuk makan Jepang, di meja sudah tersedia apa yang kalian minta…”, ujarnya seraya mengajak semua menyerbu meja. Saat bersantap, Sabrina menatap hampa, perutnya lapar, sampai hari ini dia belum bisa akrab dengan makanan asing itu…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H