Semoga saya tidak salah baca, Koran Kedaulatan Rakyat tertanggal 28 Maret 2012, menyajikan berita yang menurut saya sangat langka di negeri ini. Seorang tukang sapu jalanan di Semarang melabrak para demostran yang mengotori jalan dengan pecahan bekas videotron. Seorang diri, tidak gentar, membela prinsip kebenaran, tidak menggunakan batu, tidak menggunakan bom molotov, tidak merusak namun menjaga lingkungan tempat tugasnya dengan tanggung  jawab penuh. Tukang sapu jalanan? berapa gajinya? seberapa kemampuan akademisnya?  inilah rakyat kecil sebenarnya... Mahasiswa? berapa uang kuliahnya? dan seberapa kemampuan akademisnya? mengaku berdemo mewakili rakyat kecil .... Saya jadi ragu, apa benar mahasiswa yang berdemo mewakili aspirasi rakyat kecil? apakah kebrutalan mereka sepadan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil? Maaf, tapi ini realita, di tempat warung saya makan, pemilik warung dan para pekerja yang mungkin gajinya tidak seberapa, "mengoblok-goblokan" tingkah polah para mahasiswa kita yang berdemo dengan anarkis. Mereka yang menurut saya rakyat kecil ini memang tidak setuju BBM naik, tapi mereka lebih tidak setuju dengan mahasiswa perusak dan pengganggu kepentingan umum. Hari ini saja, ribuan orang terpaksa mengambil jalan alternatif karena pertigaan IAIN di Jogjakarta diblokir mahasiswa sepanjang siang. Para pengendara ini tampak stres dengan raut muka penuh kejengkelan, letupan amarah disalurkan dalam bunyi klakson yang bersaut-sautan karena kemacetan yang ditimbulkan di jalan alternatif yang sempit. Lain lagi celotehan di media sosial, banyak orang mengeluh tidak bisa berjualan karena mobilitasnya disabotase oleh demonstran. Banyak teman yang terlambat kuliah karena terhambat demonstrasi yang memblokir jalan-jalan tempat kuliah mereka. Banyak orang tua yang tidak bisa menjemput anak-anaknya yang sekolah tepat waktu seperti hari-hari biasanya. Cepat atau lambat, konflik horisontal antar masyarakat akan terjadi, antara mahasiswa yang berdemo dengan masyarakat yang merasa terganggu dengan aksi demo tersebut. Saya sungguh tidak tahu apa yang dipikirkan oleh mahasiswa yang berdemo dengan memblokir jalan sepenuhnya. Mereka ingin menyampaikan aspirasi tapi yang mereka bawa adalah batu dan bom molotov. Apakah ini tidak merendahkan derajat otak mereka dan hati mereka? Saya sangat prihatin pada para mahasiswa yang berdemo dengan anarkis, apa mereka tidak sadar telah menjadi alat parpol dan ditunggangi intelijen negara tetangga untuk membuat negeri ini semakin rusak sehingga menguntungkan negara tersebut. Lihatlah, ketika negara ini kisruh, negara-negara tetangga gencar mengiklankan tempat pariwisata mereka dan juga penawaran investasi di negara mereka. Sementara itu, hasil-hasil pembangunan di negeri ini yang susah payah didanai oleh pajak rakyat, justru dirusak oleh para mahasiswa yang berdemo. Trotoar dihancurkan, pos keamanan dihancurkan, restoran dihancurkan, rambu-rambu dihancurkan, sepertinya mereka terlalu latah untuk menghancurkan, tanpa tahu bagaimana rasanya membangun. Saya bukan orang pintar dan jago orasi, saya hanya kasihan dengan tukang sapu yang harus membersihkan batu-batu dan bekas ban yang dibakar di jalan. Hidup mereka tambah sulit jauh hari sebelum bbm naik, hanya karena mahasiswa yang mengaku mewakili rakyat kecil. Mahasiswa, yang katanya punya otak, tapi sayang ... mereka harus belajar menggunakan nurani pada seorang tukang sapu ... pada rakyat yang paling kecil. Atau .. jangan-jangan sudah terbalik ... tukang sapu adalah mahasiswa sesungguhnya, seorang yang mempelajari hidup, yang menerapkan nurani dan tanggung  jawabnya untuk mempertahankan kebenaran yang dipelajarinya meski itu pahit. Salut Pak Tukang Sapu!!! Saya belajar banyak dari Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H