Di Indonesia terdapat dua ratus juta lebih penduduk dengan berbagai macam profesi yang dimilikinya. Berbagai profesi tersebut kemudian memunculkan berbagai permasalahan. Sebuah profesi dan pekerjaan memang tidak terlepas dari suatu resiko. Salah satunya adalah profesi menjadi seorang jurnalis. Dalam dunia pers, segala informasi yang didapat kemudian dibuat menjadi suatu berita atau informasi untuk disampaikan kepada khalayak umum. Sebagai sebuah negara demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), setiap anggota masyarakat untuk memperoleh suatu informasi dan menyatakan pikiran serta pendapat sesuai dengan hati nurani merupakan sebuah hal yang hakiki. Kemajuan teknologi saat ini juga membuat masyarakat menjadi lebih mudah untuk mendapatkan segala informasi yang ingin di dapatkan. Namun dengan peran penting pers sebagai wadah masyarakat untuk mendapatkan segala informasi ternyata masih banyak permasalahan yang terjadi di dalamnya. Salah satunya adalah mengenai pelanggaran-pelanggaran yang melibatkan para wartawan baik berupa kekerasan fisik hingga berujung kepada kematian.
Wartawan atau jurnalis adalah seseorang yang melakukan kegiatan jurnalisme secara teratur dengan menuliskan suatu berita yang berupa laporan dan kemudian tulisannya di kirimkan dan dimuat di media massa. Ada berbagai pendapat mengenai perbedaan antara jurnalis dan wartawan.Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), jurnalis adalah profesi seseorang yang berhubungan dengan isi media massa. Jurnalis meliputi penulis lepas, kolumnis, design grafis dan fotografer. Sementara itu menurut Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), wartawan adalah suatu profesi yang berhubungan dengan kegiatan tulis menulis yang meliputi proses pencarian data berupa riset, liputan dan verivikasi yang digunakan untuk melengkapi laporannya. Wartawan harus objektif berdasarkan laporan yang dibuatnya berbeda dengan penulis kolom yang bisa saja mengemukakan subjektivitasnya. Disisi lain,pers sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi dan pembentuk opini harus melaksanakan perannya berdasarkan asas, fungsi, hak, dan kewajiban sesuai dengan aturan perundang-undangan yang telah dibuat. Profesi sebagai wartawan yang meliput dan mencari berita mengenai suatu hal dan permasalahan yang sedang terjadi memang merupakan suatu profesi yang sangat beresiko. Berbagai bentuk kekerasan kemudian muncul terhadap para wartawan.
Dari banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan para wartawan, diantaranya adalah kasus mengenai kematian seorang wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin 17 tahun lalu yang hingga saat ini belum ada kepastian hukum yang jelas dari pihak pengadilan maupun penyidik lainnya, selain itu ada juga kasus Akil Mochtar yang diduga menampar seorang wartawan, kemudian ada juga seorang wartawan yang bernama Arobi yang ditembak polisi saat mengamankan aksi demonstrasi mahasiswa di Ternate yang menentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), serta berbagai kasus-kasus pelanggaran hukum lainnya yang melibatkan seorang wartawan. Menurut ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate, Machmud mengatakan kekerasan yang terjadi terhadap wartawan bermacam-macam mulai dari kasus kekerasan dalam bentuk fisik, caci maki, ancaman pembunuhan, penyerangan kantor redaksi hingga penembakkan kepada wartawan.
Sebenarnya, aturan hukum mengenai profesi seorang wartawan telah di atur dalam berbagai aturan perundang-undangan. Diantaranya adalah Undang-Undang No. 40 tahun 1999 yang mengatakan pers lahir atas pertimbangan bahwa kemerdekaan pers merupakan suatu wujud kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 harus dijamin. Disebutkan pula dalam Undang-undang No. 40 tahun 1999 pasal 4 di dalam ayat 1 bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua yangmengatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, dan ayat ketiga yang mengatakan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi serta ayat keempat yang mengatakan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Dari aturan hukum tersebut jelas seorang jurnalis maupun wartawan seharusnya mampu dapat di lindungi oleh negara dan pemerintah dalam menjalankan segala tugasnya mencari informasi dan kemudian menyampaikannya dalam bentruk sebuah berita kepada khalayak umum. Ironisnya dengan semakin banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan para wartawan yang sudah berlangsung lama, hingga kini hukum yang telah dibuat belum dapat ditegakkan oleh para penegak hukum kita. Peran pemerintah dan penegak hukum tentu sangat penting untuk mewujudkan kebebasan pers yang merdeka. Berbagai kekerasan yang terjadi terhadap wartawan harus menjadi pelajaran bagi semua pihak agar terbentuk pers nasional yang demokratis dan dapat menjadi wadah bagi semua masyarakat untuk mengetahui suatu permasalahan yang sedang terjadi di negeri ini. Hukum dan aturan yang tegas mengenai kekerasan terhadap wartawan tentu harus dibuat agar para pelaku tindak kekerasan terhadap wartawan dapat menghargai segala proses demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H