Mohon tunggu...
Kentos Artoko
Kentos Artoko Mohon Tunggu... Dosen - Peminat Masalah Politik, Ekonomi dan Politik

Peminat Masalah Politik, Ekonomi, Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kretek Tak Lagi Bunyi "Tek...Tek...Tek...Tek"

17 September 2019   19:54 Diperbarui: 17 September 2019   20:10 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syahdan, abad ke-19 Haji Djamhari menderita sakit pneumonia akut, tubuhnya makin hari makin kurus hingga akhirnya Djamhari mencoba membalurkan minyak dari cengkih yang telah ditumbuk di sekitar dada dan hidungnya. Mustajab! hanya dalam beberapa detik derita sesak yang telah bulanan diidap Djamhari berkurang.

Djamhari berpikir mungkin sesak nafas yang dialaminya berasal dari kebiasaannya merokok lintingan tembakau yang telah puluhan tahun dijalaninya. Ia pun berinovasi dengan membubuhkan beberapa potongan cengkeh dalam lintingan tembakau yang siap dihisapnya.

Alhasil! Secara berangsur sesak nafas Djamhari makin berkurang dan bisa kembali bernafas seperti sedia kala, bahkan bisa bekerja kembali untuk menggarap sawah yang selama ini telah ditinggalkannya karena tak kuat bernafas.

Djamhari pun membagikan resep ini pada beberapa rekannya yang masih melinting dan menghisap tembakau murni tanpa campuran dan potongan cengkih. Dengan tambahan cengkih lintingan rokok, memang menimbulkan suara khas tek....tek....tek. Sejak saat itulah gulungan atau lintingan tembakau dengan campuran cengkih dikenal dengan sebutan kretek (Hikayat Kretek, Onghokham).

Adalagi yang berpendapat bahwa industri kretek dimulai oleh Nitisemito, seorang kusir dokar (andong, sado) yang menciptakan rokok kretek. Ceritanya, Nitisemito yang penarik andong sering mampir di warung milik Nasilah untuk sekedar istirahat, ngopi dan membahak rokok tembakau lintingannya.

Kala itu para kusir andong lebih memilih untuk mengunyah sirih yang dicampur dengan gulungan tembakau serta meludah disembarang tempat. Suatu saat, Nasilah melihat Nitisemito yang tidak mengunyah sirih, namun membakar rokok lintingannya dengan menambahkan beberapa butih cengkih dalam rokoknya.

Saat ditanya manfaat cengkih tersebut, Nitisemito hanya berkomentar  tambahan cengkih ini untuk melapangkan dada, mengingat kerjanya yang lumayan berat. Melihat hal tersebut, Nasilah pun kemudian menyediakan cengkih di warungnya untuk dikonsumsi atau menjadi campuran tembakau agar pada penarik andong lainnya berhenti memakan sirih.

Singkat kata, Nitisemito kemudian menikahi Nasilah dan kebiasaan menyediakan cengkih di warung Nasilah menjadi 'viral' dikalangan penarik andong. Nitisemito pun tak segan untuk mengajari koleganya untuk melinting tembakau serta menambahkan cengkih dalam lintingannya.

Karena makin banyak peminatnya, Nitisemito memproduksi sendiri lintingan plus cengkih di warung Nasilah, hingga akhirnya  usaha mereka makin membesar. Produk masif kretek bikinan Nitisemito dibanderol dengan label 'Kodok Nguntal Ulo' (Kodok Makan Ular). Merasa bermasalah dengan nama produknya, Nitisemito pun menggantinya dengan Bal Telu (Tiga Bola).

Perlahan tapi pasti, Nitisemito menjadi penarik andong terkaya di seluruh Jawa Tengah, bahkan Nitisemito pun pernah menjadi orang terkaya di Indonesia sebelum kemerdekaan RI. Tak ayal, Nitisemito pun  dinobatkan sebagai Bapak Kretek Kudus. Kretek pun menjadi industri khas Indonesia, lintingan tembakau yang dibubuhi oleh cengkih merupakan produksi asli Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun