Mohon tunggu...
Ken Terate
Ken Terate Mohon Tunggu... Administrasi - Penenun Kata

Ken Terate adalah pekerja teks komersial. Ia tinggal di Yogyakarta. Kebahagiaannya tersangkut pada keluarga kecilnya, secangkir teh, buku, drama, dan obrolan ringan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dear Covid-19 (Catatan Setahun Mengarungi Pandemi)

6 Maret 2021   19:07 Diperbarui: 6 Maret 2021   19:10 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hi Covid-19, apa kabar? Apakah sudah ada tanda-tanda kamu mau pergi? Atau justru mengganas dan bermutasi hingga vaksin pun akan sulit mengejarmu?

Sudah setahun kamu di Indonesia walau aku yakin sebenarnya lebih lama dari itu. Di negeri ini kebetulan pasien Covid-19 pertama teridentifikasi akhir Februari tahun lalu. Hm, aku yakin sebenarnya kamu sudah gentayangan di sini sebelum itu.

Kabarku? Yah, alhamdulillah baik-baik saja hingga saat ini. Makin putih dan makin gendut, seperti kebanyakan orang. Tapi untuk yang kedua, aku nggak bisa menyalahkanmu sepenuhnya. Emang akunya doyan makan, sih.

Aku sendiri mulai me-lockdown diri dan keluarga sejak 12 Maret tahun lalu. Kok, aku ingat? Ha ha,  jelas ingat dong, karena hari itu kayak jadi garis tegas antara 'sebelum' dan 'sesudah'.

Januari 2020, aku, suami dan anak-anak barengan dengan keluarga kakak dan adik piknik bareng ke Bekasi untuk menghadiri pernikahan ponakan. Itu pertama kalinya kami pergi jauh bersama setelah kami semua menikah dan punya anak. 

Kami berlima belas dari Jogja, naik satu mobil --kami sewa Hi-Ace--. So pasti banyak banget gembiranya. Kami berjanji untuk mengulangi perjalanan semacam itu. "Purwokerto, yuk," ada yang usul begitu. "Bandung, dong," usul yang lain. "Yang deket aja, Tawangmangu."

Awal Maret, suami bertugas di Solo. Aku dan anak-anak menyusulnya. Kami naik KA Pramex dan seperti yang sudah-sudah, main ke Solo terasa menyenangkan, meski kami cuma staycation, renang di hotel, lalu beli oleh-oleh di seberang hotel. 

Sebelum berangkat, sebagai emak-emak aku menyiapkan bekal dan untuk pertama kali tisu alkohol serta hand sanitizer jadi barang yang wajib dibawa. 

Tapi, kau tahu, hand sanitizer mulai sulit dicari. Di apotek dekat rumah, barang itu lenyap. Aku menemukan satu di Indomaret. Hanya tinggal satu itu! (Jadi alangkah kesalnya waktu itu benda itu ilang saat ketinggalan di kantor suami beberapa hari kemudian!).

Di hotel, semua masih tampak seperti biasa. Tamu lumayan ramai. Belum ada yang pakai masker (kami juga begitu). Tetapi aku dan suami mulai nggak sembarangan memencet tombol lift. Kami menekuk jari dan tonjolan ruas jari yang tertekuk itu.

Tanggal 10 Maret, Ung si nomor dua, ulang tahun ke-5. Dia minta makan di restoran. Kami dengan senang hati menuruti. Nggak ada yang nyangka, itulah makan di luar kami yang terakhir sebelum akhirnya kami resmi memasuki mode 'pandemi'.  

Itu karena tanggal 12 Maret Solo --iya, kota yang barusan kami kunjungi---mengumumkan pasien Covid pertama mereka meninggal dan memberlakukan lock-down. Hingga kini, nyaris setahun, kami belum makan di warung atau restoran sekali pun.

Dear Covid-19, tahukah kamu perubahan apa yang telah kamu sebabkan? Banyak! Banget! Perusahaan besar bangkrut, orang-orang kecil kehilangan nafkah, pasangan terpisah --dalam arti fisik maupun psikis---dan... orang-orang yang kami sayangi pergi untuk selamanya. Hal kecil yang dulu serba gampang kini serba ribet.

Di masa-masa yang begitu muram, seperti biasa, manusia mencari cara buat bertahan. Aku kaget sendiri menyadari aku masih waras hingga ini. Aku menjalani hari dengan cara-cara yang sungguh nggak pernah terbayang sebelumnya. Bukan cara yang hebat atau drastis, sih, tapi bukan aku banget.

Di awal lockdown, dunia serasa sangat muram bagiku. Cemas dan takut melingkup. Aku menangis saat berdoa. Budhe --ART kami---kami liburkan sementara, bikin rumah berantakan dan kerjaanku memberat. Job order kosong sama sekali. Rekening menipis. Suami bekerja dari rumah dan penghasilannya juga turun, padahal cicilian utang nggak berhenti.

Kami berusaha menghibur diri sebisa-bisanya, mulai dari berkebun hingga memanggang kue. Dalam upaya bertahan dan menjaga kewarasan mental secara tak terduga tahun 2020 menjadi 'tahun pertama'.

Tahun pertama aku belanja sayur lewat pesan-antar.

Tahun pertama aku memasang zoom dan menjalankan aneka komunikasi lewat aplikasi itu.

Tahun pertama aku ikut pelatihan online.

Tahun pertama aku nonton drakor.

Tahun pertama aku nonton film di hape (Netflix, dst).

Tahun pertama kami sepedaan sekeluarga.

Tahun pertama kami puasa dan lebaran dalam sunyi.

Tahun pertama aku menggunakan e-banking.

Tahun pertama aku benar-benar ikut berkebun dan memelihara bungaku sendiri.

Tahun pertama anak-anak punya hewan peliharaan (kelinci).

Tahun pertama dalam hidupku aku tidak terserang flu selama setahun (biasanya setahun empat atau lima kali)

Mendekati akhir tahun itu, order menulis dan menerjemahkan mulai masuk. Tidak banyak, tapi sungguh kusyukuri.

Beberapa bulan terakhir, aku mulai santai bila harus berbelanja. Kami tetap berusaha sebanyak mungkin di rumah, tapi aku nggak lagi takut seperti awal pandemi. Di awal pandemi, aku akan resah semalaman bila esoknya harus keluar rumah. Sekarang, aku merasa biasa-biasa saja bila harus (harus lho ya) keluar rumah dengan tetap menjalankan prokes.

Dear Covid-19,

Aku tahu kamu meminta kami melambat atau bahkan berhenti sejenak dan mengingat kembali apa yang penting. Aku tahu meski kelihatan seperti bencana, kamu adalah bagian dari alam yang sama alamiahnya dengan air dan udara, api dan erupsi. Hanya saja, karena kami ceroboh, dan yah... bebal, semua jadi berlarut-larut.  Kini kami sadar kami harus menyesuaikan diri, mencari cara agar bisa berdamai denganmu.

Dear Covid-19,

Aku tahu kamu nggak akan lenyap sepenuhnya. Tapi aku harap kami segera menemukan cara efektif untuk menghadapimu. Aku berharap hidup berputar seperti dulu lagi, meski aku tahu nggak akan sama. Ya, nggak akan sama. Aku sendiri nggak akan menjalani hidup dengan cara yang sama. Aku akan tetap mempertahankan cara-cara yang kusadari lebih baik berkat kamu, seperti mencuci tangan dan memakai masker. Juga berbelanja seminggu sekali dan sepedaan bersama keluarga.

Terakhir, semoga pandemi ini membuat kami lebih bijak dan lebih pandai bersyukur bahkan setelah berlalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun