"Waktu hamil pertama kali, suamiku selalu menemaniku kalau aku check-up," cerita seorang teman, "Pas hamil anak kedua, kadang-kadang aja suami ikut. Nah hamil anak ketiga... blas. Aku selalu berangkat sendirian ke dokter kandungan!"
Haduh, jangan sampai deh aku begitu, batin saya. Anak pertama dan selanjutnya harus dapat perhatian yang sama, tekad saya.
Haha, pembaca yang punya lebih dari satu pasti mulai menertawakan kehaluan saya. Faktanya, anak pertama memang (BIASANYA) mendapatkan segala-gala yang lebih lebih istimewa.
Saya ingat waktu hamil anak pertama saya mengasup gizi 'kelas satu'. Ikan salmon, yang pada hari-hari biasa nggak terjangkau, sengaja dibeli khusus buat si bumil. Lalu buah kiwi, yang konon katanya bagus, juga kami beli walau sekilo kiwi bisa buat membeli lima kilo pepaya. Waktu mau melahirkan, sesuai dengan artikel yang pernah saya baca, membawa bekal kurma mahal yang konon bagus untuk menambah energi. Anak pertama lahir di rumah sakit besar, ditolong oleh dokter kandungan, berapa perawat, berapa bidan, dan mungkin beberapa residen. Pokoknya saya ingat, saya dikelilingi banyak staff berseragam. Sewaktu bayi si kakak ini mendapat imunisasi di klinik swasta dengan vaksin mahal yang katanya nggak menyebabkan demam. Beberapa kali ia kami bawa ke klinik ibu dan anak untuk mendapat pijat bayi.
Hamil anak kedua? Hehe, cukuplah makan ikan lele. Nggak ada menu-menu khusus. Saya makan seperti biasa, seperti waktu nggak hamil. Si adik lahir di bidan kampung, dekat rumah. Ayahnya baru balik buat ambil perlengkapan bayi, eh dia udah brojol. Â Imunisasi? Cukup di puskesmas. Bayar 25.000 kelar. Kalau dulu mpasi si kakak terjadwal dengan daging, ikan, dan sayur-sayur yang dilumatkan pakai blender khusus, makanan di adik cukup dicacah-cacah aja di atas talenan.
Baju? Sebelum melahirkan anak kedua, saya membeli dua pasang baju bayi dan dual embar handuk. Itu aja. Buat menggenapi 'syarat' punya anak. Bajunya yang lain? Nglungsur kakak dan sepupu-sepupunya lah. Â Beberapa baju itu bahkan pernah digilir oleh dua atau tiga bayi. Nggak ada deterjen khusus baju bayi, segala macam minyak telon dan pelembap, selimut, Kasur, dan bantal bayi seperti yang saya beli waktu hamil si sulung.
Pijat? Si anak nomor dua dipijat penuh kasih sayang ibunya sendiri lah. Foto? Kalau anak pertama difoto tiap lima menit sekali, anak kedua... woi mana kameranya? Itu pun kalau ingat.
Sekilas, anak kedua ini memang nggak seistimewa anak pertama. Tapi apakah benar demikian? Yang pertama, dari segi waktu,a jelas, begitu lahir anak kedua sudah harus berbagi waktu dan perhatian dengan sang kakak. Ini tentu berbeda dari anak pertama yang untu sementara jadi 'anak tunggal'. Apalagi misalnya ia adalah cucu pertama. Walhasil deh, ia bakal jadi bintang di keluarga besar. Dari segi ekonomi, bila tidak ada perkembangan berarti dalam keluarga, maka dapat dipastikan anak pertama akan mendapat baju, mainan, hingga spa bayi yang lebih mahal, sementara si adik harus pasrah dapat lungsuran, dan nggak pernah menikmati 'bubur bayi organik'.
Tapi itu bukan karena kasih sayang yang kurang. Anak kedua saya rindukan sama besarnya dengan anak pertama. Kehadirannya memberi sukacita bahkan lebih besar lagi. Kenapa? Karena kali ini yang menunggu tidak hanya ayah dan ibu, namun juga kakaknya.
Segi-segi yang kelihatannya pilih kasih sebenarnya terjadi karena kondisi alamiah dan pengalaman orang tua yang tak hanya menjadikan mereka lebih praktis, tapi juga lebih bijaksana. Sama sekali bukan karena anak kedua dianggap kurang istimewa.
***