Bila dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya, kasus-kasus di atas seakan menjadi anomali. Lihat saja kasus Nenek Asyani, wanita tua asal Situbondo, Jawa Timur, yang terpaksa mendapat hukuman 5 tahun penjara karena dianggap majelis hakim terbukti "bersalah" mencuri 7 batang kayu jati milik Perum Perhutani. Padahal, mungkin kasus ini hanya sebuah kesalahpahaman saja,Â
Nenek Asyani merasa bahwa 7 batang kayu jati itu tumbuh di lahan miliknya dan ia pun memiliki bukti kepemilkan tanah lahan tersebut. Â Walaupun demikian, Nenek Asyani tetap dijerat dengan Pasal 12 juncto Pasal 83 Undang-Undang (UU) Tahun 2013 tentang Illegal Logging. Saya merasa bahwa ini sungguh keterlaluan, pasal mengenai illegal logging seharusnya dikenakan pada terdakwa yang memang benar-benar merugikan negara dan para mafia perhutanan, bukannya pada seorang nenek tua yang sudah renta yang mengambil 7 batang kayu jati yang memang notabene tumbuh di lahannya sendiri. Â
Seharusnya, para penegak hukum dapat menyelediki lebih dalam lagi dan mereka dapat lebih mengutamakan "Restorative Justice" yang mengutamakan penyelesaisan secara damai melihat umur terdakwa yang sudah sangat tua bukannya "Retributive Justice" yang terus mencecar dan mencari kesalahan serta lebih mengutamakan hukuman penjara bagi terdakwa. Inilah yang menurut saya menjadi anomali.Â
Di mana "Restorative Justice" sangat dikedepankan saat kasus Rasyid Rajassa sementara saat kasus Nenek Asyani para penegak hukum lebih mengedepankan "Retributive Justice". Bila dilihat dari besarnya kesalahan dan rasa keadilan tentu hal ini menjadi sangat terbalik.
Kemudian kita juga dapat melihat bagaimana proses hukum di Indonesia lebih berpihak pada "pembesar" dibandingkan "bawahan"-nya pada kasus Baiq Nurul. Ia harus mendekam di penjara selama 6 bulan dan membayar denda Rp 500 juta dikarenakan ia melaporkan tindakan asusila atasannya.Â
Ia yang pada saat itu bekerja sebagai staf honorer di SMAN 7 Mataram kerap kali merasa terganggu karena atasannya Muslim, Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, kerap memintanya mendengarkan cerita hubungan perselingkuhannya dengan wanita lain. Ia pun merekamnya dan temannya kemudian menyebarkannya. Akan tetapi, naas bukannya ia mendapat keadilan ia malah dilaporkan oleh atasannya. Ia dilaporkan melanggar Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena menyebarkan percakapan asusila atasannya. Walaupun ia dinyatakan bebas di Pengadilan Negeri Mataram tetapi, jaksa mengajukan banding.Â
Hingga akhirnya kasus ini jatuh ke tangan MA. MA entah mengapa memutuskan bahwa Baiq Nurul bersalah. Melihat putusan MA merupakan putusan kasasi yang sudah final, ia harus mendekam di penjara. Beberapa contoh kasus inilah yang seolah-olah membuat hukum Indonesia terlihat tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.Â
Saya juga menyadari bahwa pada kasus tabrakan maut yang melibatkan Dul, terdakwa masih sangat belia dan di bawah umur. Akan tetapi, alas an di bawah umur seharusnya tidak membuat seseorang dapat lari dari hukuman dan tanggung jawabnya. Banyak kasus tabrakan maut yang melibatkan anak di bawah umur hingga menyebabkan kematian tidak mendapatkan keadilan.Â
Melihat bahwa biasanya anak di bawah umur yang diperbolehkan mempunyai/mengemudikan mobil  sendiri memiliki orang tua yang kaya/berpengaruh membuat pilihan jalan "damai" dengan keluarga korban lebih sering ditempuh. Mungkin hal inilah yang menyebabkan stigma seolah-olah anak di bawah umur tidak tersentuh hukum apalgi bila orang tuanya berpengaruh atau kaya.Â
Menilik beberapa tahun belakangan ini banyak sekali terjadi kecelakaan akibat anak di bawah umur mengendarai kendaraan bermotor yang mungkin diakibatkan tidak lain tidak bukan oleh stigma tersebut.Â
Penegak hukum di Indonesia seharusnya dapat mewujudkan "equality before the law", seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28D ayat 1 yang berisi "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".Â