Semua berawal ketika saya menerima pengumuman bahwa saya diterima di Kolese Kanisius, salah satu sekolah Katolik ternama di Jakarta yang tidak hanya dikenal sebagai salah satu sekolah terbaik di kota ini, tetapi juga memiliki reputasi yang kuat dalam mendidik para siswa menjadi pribadi yang tangguh. Rasa bangga dan bahagia membuncah di hati saya saat itu. Masuk ke Kolese Kanisius, sebuah sekolah Katolik homogen yang seluruh muridnya laki-laki. Begitu diumumkan pada tengah malam di bulan Oktober, saya hampir tidak bisa tidur karena begitu senang dan antusias.
Namun, seiring berjalannya waktu, rasa bangga itu mulai bercampur dengan berbagai tantangan yang membuat saya memahami arti perjuangan yang sebenarnya. Memang ada rumor yang mengatakan bahwa menjadi siswa Kolese Kanisius awalnya seperti pergi ke taman hiburan---sangat menyenangkan pada awalnya, lalu naik ke komidi putar, dan akhirnya berputar lebih cepat dalam roller coaster yang membuat perut melilit.
Awal masa orientasi dan minggu-minggu pertama terasa menyenangkan. Saya berkenalan dengan teman-teman baru dan menikmati suasana yang benar-benar baru. Namun, euforia ini hanya bertahan sekitar tiga minggu. Memasuki minggu awal bulan Agustus, saya dan teman-teman mulai merasakan betul tantangan yang sering dibicarakan itu. Semua dimulai dari perubahan yang signifikan, terutama dalam pola hidup dan penampilan. Siswa kelas 10 yang awalnya berambut panjang harus rela mencukur rambut menjadi pendek atau bahkan botak, tanda awal kedisiplinan yang harus dipatuhi.
Pola tidur pun berubah drastis. Jika sebelumnya kami terbiasa tidur pukul 10 malam, kini semakin larut hingga pukul 12 bahkan 1 dini hari. Tuntutan akademik di sini sangatlah ketat, dengan materi pelajaran yang cukup berat dan ujian yang bisa datang dua hingga tiga kali dalam seminggu, ditambah tugas-tugas yang harus diselesaikan tepat waktu. Di minggu-minggu awal, saya sudah terbiasa menghadapi dua bab pelajaran dalam satu mata pelajaran hanya dalam kurun waktu seminggu. Namun, di situlah letak pelajaran hidupnya; Kolese Kanisius membentuk kami untuk menjadi pribadi yang tangguh, disiplin, dan pantang menyerah.
Selain tantangan akademik, saya juga belajar membangun hubungan sosial. Pada awalnya, suasana antar siswa sangat kaku. Semua terlihat seperti ingin saling mengenal, namun tidak tahu harus memulai dari mana. Namun, seiring waktu, semua menjadi cair. Mungkin karena kami semua laki-laki di lingkungan homogen ini, rasa solidaritas dan kebersamaan tumbuh dengan cepat. Kami saling mendukung dan membantu di saat menghadapi kesulitan, baik di akademik maupun di luar itu.
Kini, meskipun Kolese Kanisius dikenal dengan lingkungannya yang keras namun hangat, saya merasakan kenyamanan dan kebahagiaan berada di sini. Sekolah ini memiliki nilai-nilai yang sangat kuat dalam membentuk kami menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Tentu ada tekanan dan kesulitan, tetapi juga ada banyak momen-momen berharga dan kenangan yang tak tergantikan.
Pada akhirnya, masa-masa awal di Kolese Kanisius adalah pengalaman yang tak terlupakan dan penuh pelajaran berharga. Di sekolah ini, saya tidak hanya belajar tentang pelajaran akademik tetapi juga tentang kehidupan, persahabatan, dan perjuangan. Semoga perjalanan ini akan membawa saya menjadi pribadi yang lebih baik, selaras dengan moto Kolese Kanisius, Ad Maiorem Dei Gloriam - Demi Kemuliaan Tuhan yang Lebih Besar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H