Senja perlahan menuruni bukit, dari lekung cahaya samar dari balik kamar dan serpihan kenangan terpancar dari bening bola mata gadis desa berselimut kain tenun ibu yang ia wariskan sebagai kenangan paling indah, saat kata pisah terpaksa harus terucap dari bibir pilu, yang cuma desahan dan mata berkaca-kaca tanpa sepatah kata pun.Â
Di persimpangan jalan pertemuan itu terjadi, sejenak namun membekas. Kerlingan mata bertatapan setelah kita sedikit saling menjauh sepertinya ingin menatap dari belakang biar tidak tertangkap basah sedang mencuri pandang. Entah apa yang kita pikirkan, entah apa yang kita angankan.Â
Hidup terlampau cepat berlalu, atau lebih tepatnya waktu melaju tanpa minta izin. Entah terlambat entah tepat waktu, ia beranjak pergi mengikuti ritmenya. Sejalan dengan angan dan bayang, yang pada malam hari kita mimpikan dan di siang hari kita coba wujudkan. Apalah artinya hidup kalau kita tidak berbakti, entah kepada diri sendiri, entah kepada sesama apalagi bagi Sang Empunya Kehidupan.
Tiadalah gunanya kita menjadi yang terkaya di pekuburan, kalau kita tidak memperkaya hidup dengan kebajikan. Betapa hati ini merindu, jiwa ini berhasrat, di senja sebening ini duduk bersama di bawah temaram cahaya senja, menikmati semilir angin timur, berkisah tentang apa saja dan tertawa lebar tanpa beban, tanpa ditegur siapapun.Â
Malaikat-malaikat tak bersayap, pucuk kehidupan tiada tara, semesta bermadah hari ini dan selamanya. Â
27.08.2019
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H