Tentu kita semua pernah membaca ucapan selamat seperti ini atau ucapan-ucapan lain yang hampir senada. Mungkin pula ada di antara kita yang sudah pernah menulis ucapan seperti ini. Lazimnya untuk memberikan selamat kepada mereka yang barusan membentuk sebuah keluarga baru, untuk pasangan suami-istri yang baru menikah.
Yang ingin saya cermati di sini terutama pada bagian kalimat: "sampai maut memisahkan". Mengapa? Karena ungkapan ini membangkitkan tafsiran ganda.
Tanpa disadari, kita "menganggap" bahwa kematian itu adalah sebuah maut. Memang benar bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI versi online) mencatat arti kata "maut" sebagai "kematian" (terutama tentang manusia), namun kata itu terdengar begitu menggetarkan. Â
Ini bertolak belakang dengan proses alamiah dan perspektif Kristiani. Kematian adalah sebuah kepastian bagi semua makluk hidup. Dan kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. "Hidup bukannya dilenyapkan melainkan hanyalah diubah...". Di sisi lain, kita tidak menghendaki maut menimpa siapapun, apalagi kepada mereka yang baru saja membangun hidup berkeluarga mereka.
Ucapan selamat kita pun semestinya tiada batas waktu. Kita tidak menghendaki bahwa sebuah keluarga baru bisa hidup langgeng sampai batas waktu tertentu. Kita pun tidak menghendaki mereka terpisah oleh siapa dan keadaan apapun. Intensi ucapan selamat kita semestinya kekal, abadi, tanpa sekat dan pembatas apapun.Â
Kita tentunya tidak bermaksud apa-apa dengan ungkapan seperti di atas. Namun, konotasi sebuah pernyataan banyak kali tak tersangka gaungnya.Â
Dengan demikian, apa yang lazimnya ditulis atau diucapkan belum tentu sesuai dengan apa yang ingin kita ungkapkan. Karena itu, marilah kita bersikap cermat dan sedapat mungkin menggunakan ungkapan lain yang lebih inklusif. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H