Sejarah dan budaya apa yang bisa kita lihat dari film hasil restorasi? Bila kita melihat di film Lewat Djam Malam, kita akan menemukan adegan para muda mudi berdansa dengan menyanyikan lagu “Potong Bebek Angsa”. Kita bayangkan, bagi para pemuda pemudi jaman dulu, nyanyian tersebut adalah nyanyian dewasa. Sedang kita, yang mungkin generasi 80 atau 90 an, nyanyian tersebut telah mengalami pergeseran menjadi nyanyian anak kecil.
Dan di era millennia ini, nyanyian itu rasanya sudah hilang. Nyanyian anak anak kecil yang ada sekarang justru nyanyian nyanyian “dewasa”. Di film Tiga Dara, kita juga bisa melihat ternyata “budaya” yang dulu ada dan sekarang tidak jauh berbeda. Wanita yang berumur belum menikah masih menjadi “aib”. Gaya glamour waktu itu dan sekarang juga hampir sama, hanya bedanya bentuk atau modenya. Dan masih banyak lagi yang bisa kita pelajari.
Proyek Bunuh Diri atau Spekulasi?
Inisiatif untuk memulai proyek restorasi film Tiga Dara tentu sudah merupakan sesuatu yang gila. Apalagi saat itu dinyatakan dalam sebuah action nyata. Karena jika melihat fisik material film Tiga Dara ini tentu sudah sangat memprihatikan. Di mana sudah puluhan tahun tentu sudah tercemar dengan berbagai kotoran, juga vinegar Syndrom yang merupakan kerusakan akibat cuaca tropis. Belum lagi yang hilang atau apa. Ditambah lagi dengan dukungan pemerintah yang sepertinya malu malu kucing. Di diemin senyum senyum, eh didatangi langsung lari.
Apalagi karena soal anggaran. Seperti kita tahu, dimulainya proses restorasi ini, pada tahun 2014 hingga 17 bulan ke depan. Saat itu pemerintah sedang “tidak” memikirkan urusan arsip film. Yang ada hanyalah focus pembangunan infrastruktur. Ya, mau tidak mau kita harus manggut manggut untuk mengerti.
Dalam restorasi ada dua tahap. Tahap Restorasi Fisik dan Restorasi Digital. Untuk tahap pertama, sineas kita belum bisa karena memang keterbatasan peralatan yang ada. Sedang untuk SDM sudah ada yaitu Lisabona Rahman dan Lintang Gitomartoyo. Keduanya ikut membantu restorasi fisik yang memakan 8 bulan di laboratorium L'immagine Ritrovata, Bologna. Di situ juga seluruh film klasik Charlie Chaplin direstorasi.
Dan ternyata restorasi “Lewat Djam Malam” pun mereka yang ikut mengerjakan. Selanjutnya untuk proses Restorasi Digital, melalui PT Render Indonesia, anak anak bangsa telah bisa sendiri untuk menyelesaikannya. UNtuk kemudian diproses lebih lanjut, sebuah proses yang tidak kalah njimetnya dengan restorasi fisik. Dan kerja keras mereka akhirnya berbuah hasil dengan restorasi film yang tidak hanya 2K, tetapi karena teknologi semakin maju, anak bangsa kita bisa menjadikan hasil restorasi dalam format 4K. Hasilnya? Tentu lebih “gila” bro! Detilnya lebih jelas. Misalnya saja, saat sebelum direstorasi, settingnya seperti di Pasar Senin, tapi ternyata itu Blok M jaman dulu.
Maka masih perlu kerja yang tidak ringan pula. Yaitu pesan, agar melupakan warisan sejarah dan kebudayan sendiri. Maka itu sudah merupakan sebuah keuntungan yang besar. Terus apa yang menjadi motif projek restorasi film TIga Dara ini? Silahkan tanya pada hati mereka masing masing hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H