Mohon tunggu...
Kens Hady
Kens Hady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang yang biasa, yang kadang suka menulis

Black Dew

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bunga di Atas Kepala

7 Juli 2016   00:25 Diperbarui: 7 Juli 2016   00:32 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: artflakes.com

Ingin sekali ku lepas kepala ini lalu membuangnya entah kemana dan memastikan tak akan kembali. Tapi sudah berulang kali ku buang kepala ini,masih saja dia kembali. bahkan lebih parah. Di rambutku justru tumbuh beberapa macam bunga.

"Apa ini!" makiku setiap hari.  Setiap kali ku buang, setiap itu pula ada bunga baru di kepala ini. Orang orang memandangku  selalu tersenyum. Tersenyum mengejek. "Banci Loe!" itulah yang ku dengar, meskipun mereka hanya berkata dalam hati.

Aku berlari menuju sungai, yang airnya jernih bisa untuk berkaca. Ku membungkuk lalu memasukkan kepala ini. dengan harapan bunga bunga itu akan terendam lalu mati membusuk .Tapi.. ahh dadaku sesak. tak kuasa aku rendam kepala ini di dalam air sungai ini. "Sialan!" makiku.

Aku terus berlari. sampailah di pinggir kota, seorang bersurban.

"Bapak, tolonglah aku, ambillah kepalaku  lalu buanglah entah kemana, aku sudah tidak mau lagi kepala ini." pintaku

"Kenapa harus dibuang? justru itu amanah untukmu! Jangan kau buang. Dosa!"

Huh sebal rasanya. Dia tidak tahu apa yang aku rasakan menanggung kepala ini di leherku. Tanpa pamit aku berlari lagi. Mendung yang dari tadi mengintipku, segera menghamburkan air hujannya sambil tertawa.

"Oh, tidak! Kepalaku semakin aneh dan berat. Berbagai bunga di kepalaku semakin tumbuh dan berakar. Aku tidak bisa berpikir sama sekali. Yang kurasakan hanyalah akar akar yang semakin mendesak akal dan logikaku. Membuat mata seperti mau keluar.  Yang ku lihat bukan lagi langit atau jalanan kota. Tapi serabut serabut dari dalam kepalaku.

Aku berlari sampai ke puncak sebuah gunung. Lalu dengan sekuat tenaga, ku lepas kepala ini lalu membuangnya ke dalam kawah yang menggelegak. Kepalaku jatuh masuk. Sedikit nafa lega aku hirup dari aroma belerang yang menyengat. Pelan aku menuruni gunung tanpa kepala di atas leherku.

"Aku ingin istirahat..." batinku.

Sampai di rumah aku segera mandi, lalu berdandan rapi,hendak  menjalani hari seperti biasa. Saat ku ingin merapikan pakaianku di depan cermin,

"Oh Tuhan... kepala itu sudah ada di atas leherku lagi!" Dan  bunga yang ada di kepalaku. Tidak lagi hanya sebatas kuncup. Tapi sudah bermekaran tidak karuan, "Bagaimana aku harus membuang kepala dan bunga itu semua??"

Aku berlari lagi lalu melompat ke kerumuman kendaraan yang , berharap agar kepala ini jatuh lalu tergilas oleh roda roda liar itu. Aku terpental menjadi dua. Benar, kepala dan tubuhku sudah terpisah. Orang orang berkerumun. Aku mendatanginya dan memastikan bahwa mereka sedang mengerumuni kepalaku yang hancur.

Tapi..... Oh tidaakkk..

Mereka bukan mengerumuni kepalaku yang hancur. tetapi sedang menatap tubuhku yang tercincang oleh roda roda jalanan. dan aku? Aku terjebak di dalam kepala penuh bunga ini.!

Dari atas langit... sebuah senyum terkekeh sepanjang waktu.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun