Ingin sekali ku lepas kepala ini lalu membuangnya entah kemana dan memastikan tak akan kembali. Tapi sudah berulang kali ku buang kepala ini,masih saja dia kembali. bahkan lebih parah. Di rambutku justru tumbuh beberapa macam bunga.
"Apa ini!" makiku setiap hari.  Setiap kali ku buang, setiap itu pula ada bunga baru di kepala ini. Orang orang memandangku  selalu tersenyum. Tersenyum mengejek. "Banci Loe!" itulah yang ku dengar, meskipun mereka hanya berkata dalam hati.
Aku berlari menuju sungai, yang airnya jernih bisa untuk berkaca. Ku membungkuk lalu memasukkan kepala ini. dengan harapan bunga bunga itu akan terendam lalu mati membusuk .Tapi.. ahh dadaku sesak. tak kuasa aku rendam kepala ini di dalam air sungai ini. "Sialan!" makiku.
Aku terus berlari. sampailah di pinggir kota, seorang bersurban.
"Bapak, tolonglah aku, ambillah kepalaku  lalu buanglah entah kemana, aku sudah tidak mau lagi kepala ini." pintaku
"Kenapa harus dibuang? justru itu amanah untukmu! Jangan kau buang. Dosa!"
Huh sebal rasanya. Dia tidak tahu apa yang aku rasakan menanggung kepala ini di leherku. Tanpa pamit aku berlari lagi. Mendung yang dari tadi mengintipku, segera menghamburkan air hujannya sambil tertawa.
"Oh, tidak! Kepalaku semakin aneh dan berat. Berbagai bunga di kepalaku semakin tumbuh dan berakar. Aku tidak bisa berpikir sama sekali. Yang kurasakan hanyalah akar akar yang semakin mendesak akal dan logikaku. Membuat mata seperti mau keluar. Â Yang ku lihat bukan lagi langit atau jalanan kota. Tapi serabut serabut dari dalam kepalaku.
Aku berlari sampai ke puncak sebuah gunung. Lalu dengan sekuat tenaga, ku lepas kepala ini lalu membuangnya ke dalam kawah yang menggelegak. Kepalaku jatuh masuk. Sedikit nafa lega aku hirup dari aroma belerang yang menyengat. Pelan aku menuruni gunung tanpa kepala di atas leherku.
"Aku ingin istirahat..." batinku.
Sampai di rumah aku segera mandi, lalu berdandan rapi,hendak  menjalani hari seperti biasa. Saat ku ingin merapikan pakaianku di depan cermin,