Mata itu merah. Lebih merah dari apa yang disebut merah. Sedang di tangannya tergenggam belati mengkilat. Berjalan mendekatiku.
"Engkau masih saja percaya? Jika engkau akan tetap hidup mesti tubuhmu aku hujam dengan seribu rajaman?"
Aku masih saja duduk di kursi di sudut kamar.
"Iya, Itulah aku. Meskipun engkau merajamku beribu kali, Tidak akan hilang aku dari tubuh ini."
Dia semakin mendekat lalu wajahnya merapat di wajahku.
"Engkau yakin?"
Sedikit sinar rembulan menyusup dari balik jendela tanpa kaca. Wajahnya tepat di depan wajahku. Wajah retak dengan mata begitu merah. Dengus nafasnya sepanas bara.
"Omong kosong! Aku lihat di matamu masih ada ketakutan!"
"Tidak!, Apa yang engkau tau tentang aku?!"
"Aku tahu tentang engkau. Semuanya. Bahkan sebelum engkau dilahirkan, aku telah tahu! Jadi jangan pernah membohongiku"
"Engkau memang iblis yang sombong tahu akan segala yang ada."
"Sombong? hahaha, Tidak! itulah yang Tuhanmu berikan padaku. Surga dan neraka bahkan pernah kucicipi semua. jadi aku tau, akan kemana dirimu setelah ku cabik dengan belati ini! Apakah engkau tidak khawatir istrimu yang cantik juga anak anakmu nanti? Karena setelah engkau pergi, aku akan menggantikanmu tetapi bukan sorban yang selama ini engkau kenakan. tetapi dengan tanduk tanduk gemerlap bagai emas."
Sekelebat wajah Mustika dan anak-anakku menghampiri. "tidak, mereka tidak boleh terperdaya dengan makhluk di depanku ini. Bagaimanapun aku harus tetap hidup untuk mereka"
"Jangan kau ganggu mereka! Cukup antara kita berdua!"
'Ha ha. kau tidak punya pilihan, Ku rajam engkau sampai menghitam. Tak perduli apakah engkau percaya atau tidak akan kehidupan setelah mati. Tapi yang pasti aku akan datangi istrimu. Dan dia akan melahirkan anak anak sepertiku!'
Aku tercenung. Tidak, itu tidak boleh terjadi, bagaimanapun dia tidak boleh mengganggu keluargaku. Apakah aku harus berdamai dengan dirinya?
"Kecuali engkau mau berdamai denganku" katanya seakan tahu suara di dadaku.
"Berdamai bagaimana?" tanyaku
"Aku tidak minta apa-apa? Tapi turuti saja suara suara yang nanti engkau dengar saat bersama mereka."
"Baik, itu memang sudah kewajibanku membahagiakan keluargaku"
"Hahahaha.." Wajah retak itu mundur kebelakang. Sambil tertawa menghilang ke balik tembok.
***
Mataku terkejap. Shubuh telah lewat.
"Sudah bangun, Pa?" lembut suara istriku menyapa. Tumben."Pa, Rony minta dibelikan mobil tuh. Harus besok"
"Tapi papa, belum punya uangnya," sanggahku
"Ah, Papa. Papa khan bendahara di kantor." Sebuah kecupan mendarat di bibirku.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H