NO. 45
Dewi menatap Dewa tak percaya. Anak panah Dewa telah habis, kecuali satu. Anak panah yang ribuan telah Dewa hamburkan secara serampangan.
“Dewa, ada apa dengan kamu? Mengarahkan anak panahmu secara ngawur gitu? Liat itu di dunia manusia, bumi serasa begoncang!”
Dewa hanya tersenyum tipis, lalu duduk di atas awan putih tipis. Mengawasi tingkah laku manusia dengan santainya.
“Apa aku salah? Bukankah cinta itu adalah hak asasi mereka. Cinta adalah anugerah bagi mereka. Jadi aku tebarkan anak anak panah cinta ini ke dalam dada mereka. Agar mereka bisa bahagia. Tidak seperti dirimu, yang pilih pilih menembakkan panah cinta,” kata Dewa
“Tapi tidak begitu caranya, Dewa. Cinta ada kaidahnya. Ada peraturanya. Sehingga di situ tercipta keseimbangan yang harmonis. Lihatlah, gara gara dirimu, manusia jadi berbuat yang di luar nalar. Apakah yang kau pikirkansehingga kau tancapkan anak panag cinta kepada seorang anak belia, yang anak panah itu isinya cinta kepada seorang yang renta. Atau bahkan kau lesatkan anak panah itu kepada sesama jenis mereka? Dan lihatlah itu, seorang lelaki dengan empat anak panahmu, mengakibatkan meskipun dia sudah berisitri, masih mengejar istri orang. Semua mengatas namakan cinta!”
Dewi, ,menyibak mendung yang menghalangi pandangannya. Hiruk pikuk manusia sudah benar tidak karuan. Keseimbangan cinta yang ia jaga, telah rusak oleh mitranya, si Dewa. Dunia sudah dipenuhi cinta gila. Cinta yang kehilangan keseimbangan. Sayangnya, dai tidak mempunyai anak panah anti cinta. Sang Pemilik Cinta hanya menugasinya untuk menimpakan cinta ke dalam dada manusia bersama si Dewa.
“Dewa, bagaimanapun juga aku harus melaporkan masalah ini ke Sang Pemilik Cinta. Manusia tidak boleh gila oleh cinta yang kamu tebarkan!” Dewi berkata, sambil hendak terbang ke langit yang lebih tinggi.
“Tunggu!” Dewa berteriak. Tangannya sudah merentangkan busur ke arah Dewi. Dewi Terkesiap. Tak disangka Dewa mengarahkan panah cinta ke pada dirinya. Belum sempat Dewi, bertindak, dadanya terasa hangat yang kemudian menjalar cepat ke seluruh tubuhnya. Ia raba raba dadanya, Anak panah asmara dari Dewa. Tubuhnya langsung tertarik ke tubuh Dewa. Erat dalam rengkuhannya.
“Inikah jatuh cinta? Kenapa kamu memanahku, Dewa?" tanya Dewi dengan lirih. Anak panah yang marasuk di dadanya semakin memaksa tubuhnya lebih erat ke tubuh Dewa
Dewa, tersenyum. Angin yang berhembus membelai rambunya yang sebahu. sementara awan yang ia pijak, pelan mengarungi angkasa. Sementara sang Matahari meemperhatikan dari langit atas.
"Semua salahmu, Dewi. Semua salahmu!"
"Kenapa bisa?
"Karna kau yang lebih dahulu memanahku." kata Dewa
"kapan? Aku tidak pernah melakukannya, Dewa"
"Bukan dengan panah, di busurmu. Tapi dengan kebersamaan kita, tanpa kau sadari, itu telah menjelma menjadi mata panah yang merajami diriku."
Awan putih bergulung membungkus tubuh mereka. Menjelma mendung hitam pekat.
"Dewa....."
"Dewi..."
Anginpun semakin membadai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H