Mohon tunggu...
Kens Hady
Kens Hady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang yang biasa, yang kadang suka menulis

Black Dew

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merancang Ruang Publik Modern yang Berkarakter

30 September 2015   22:18 Diperbarui: 1 Oktober 2015   08:03 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lalu bagaimana dengan kota yang sudah terlanjur semrawut dan acak acakan tata ruangnya? Dalam kasus seperti ini, pemerintah harus berani melakukan kebijakan reorientasi kota. Kota mesti di tata ulang dengan memperhatikan semua aspek yang diperlukan. Seperti lingkungan, kesehatan,ekonomi dan lainnya. Memang akan terjadi beberapa letupan dan gesekan dengan sebagian warga. Bagaimanapun juga, bila hal itu terjadi, mesti diselesaikan sebaik dan seadil mungkin. Jangan sampai ada warga yang teraniaya dan merasa terdzolimi. Pada akhirnya, reorientasi kota yang mengedepankan akan menciptakan tata ruang yang ideal dan dapat dinikmati warga yanga ada di dalamnya.

Ruang publik berpengaruh pada kehidupan ekonomi, sosial juga budaya, landmark sebuah kota semestinya benar benar dikelola dengan semaksimal mungkin.  Dengan pengelolan yang baik, ruang publik tersebut akan menjadi image of city,  icon sebuah kota yang tentunnya akan berpengaruh pada aspek sosial juga ekonomi.  Dengan semakin berkembangnya zaman,  pengelolaan ruang publik harus dilakukan dengan cerdas dan tepat. Kita tidak bisa merasa senang dan cukup dengan ruang publik yang ada sekarang. Perubahan zaman terjadi begitu cepat. Demikian juga persepsi dan budaya yang ada di masyarakat. Sebagai bangsa yang besar dan berkepribadian yang adiluhung, kita harus membangun ruang publik yang menjadi manifestasi tingginya kebudayaan kita sebagai jati diri bangsa. Ruang publik kita harus punya karakter kebangsaan dengan tidak meninggalkan modernitas perkembangan teknologi.

Tradisi Gembok Cinta di  Nol Kilometer

Beberapa kali saya berkunjung ke kawasan Nol Kilometer di Jogja. Di situ merupakan terletak perempatan jalan yang di sekitarnya merupakan tempat bersejarah. Ada Monumen Serangan Umum Satu Maret, Ada Benteng Vredeburg juga ada Istana Kepresidenan Gedung Agung. Ruang publik tersebut selalu dikunjungi  masyarakat, baik individu, ataupun komunitas terutama komunitas kesenian. Dalam beberapa kesempatan, saya kesana, ada beberapa perubahan. Sesuai dengan gairah kreativitas seni yang ada  sana. Ada beberapa patung yang sebelumnya tidak saya lihat, saya lihat di suatu waktu. Dan yang terakhir saya lihat, ada sebuah bangun berbentuk hati terbuat dari logam penuh dengan lubang lubang kecil. Setelah bertanya  ke beberapa teman, mereka menjawab, bahwa bangun tersebut meniru sebuah tradisi dari luar negeri sering disebut gembok cinta. Ternyata tradisi gembok cinta ini telah menyebar ke beberapa negara.  Bagi saya pribadi, sangat miris dan prihatin ketika sebuah kota sekelas Yogyakarta yang notabene punya kebudayaan sendiri yang kuat, tapi malah mengekor kebudayaan lain.

 

Apakah tidak ada dalam budaya Indonesia khususnya Yogyakarta yang isinya sama dengan “tradisi gembok cinta”.  Mungkin bagi sebagian orang akan mempertanyakan keprihatinan saya dengan bertanya, apa salahnya tradisi gembok cinta, bukankah cinta adalah bahasa universal?” Cinta memang bahasa universal, tapi bagaimana cara mewujudkan dan mengaplikasikannya akan berbeda untuk setiap pribadi bangsa. Dan kepribadian bangsa itu merupakan ciri khas karakter sebuah bangsa itu sendiri.

Mari kita bayangkan, bila ruang publik kita lebih mengedepankan cita rasa manca negara, dalam beberapa waktu  ke depan, generasi muda kita yang telah berasimilasi sosial, ekonomi serta budaya di ruang publik, sangatlah rentan kehilangan jati diri bangsanya. Ruang publik yang kita bangun , ibarat menjadi pisau tajam yang mengiris hilang kebudayaan kita. Sayangnya hal ini jarang sekali kita perhatikan. Atas nama kemajuan dan globalisasi, kita serba permisif terhadap infiltrasi budaya asing.

Seiring dengan gaung revolusi mental, semestinya momen Peringatan Hari Habitat Dunia, juga bisa  disinergikan dengan pembentukan karakter yang kuat melaluipemanfaat ruang publik.  Ruang publik yang layak dan berkarakter dan terbebas dari “jajahan” budaya yang tidak sesuai dengan pribadi suatu bangsa.  Para pemangku kepentingan ruang publik harus lebih memperhatikan rancangan ruang publik yang modern tetapi tetap berkarakter kebangsaan. Modern dalam arti bisa dan selalu mengikuti perkembangan zaman dengan teknologinya serta mempunyai karakter yang menggali dari kebudayaan sendiri.

 

Adapun hal hal yang perlu diperhatikan dalam merancang ruang publik yang modern dan berkarakter :

1.  Pemberdayaan lokasi yang bernilai historis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun