Aku masih memandang gambar itu. Entah sudah berapa lama. Tidak ingat. Yang aku ingat hanyalah, gambar itu berubah dan bergerak menjadi bayang bayang di kepalaku. Sangat lincah saat dia menuangkan kopi ataupun teh di setiap senja. Suaranya yang mendayu sedikit manja. Begitu jelas menampilkan aroma kesepian di jiwanya. Akupun tersenyum sambil mengambil cangkir berisi kopi.
“Senja yang masih sama,” kataku lalu menyeruput kopi. Manis.
“Iyah, selalu sama. Dan sepertinya akan selalu sama, entah sampai kapan.” Senyum tipisnya terurai bersama matanya yang menyipit saat dia tersenyum ke arahku.
“Mestinya tidak. Mestinya engkau bisa bertindak lebih. Tapi ketakutanmu masih saja engkau pelihara, . Ayolah kikislah ketakutanmu itu.” Aku kembali menyeruput kopi yang disajikannya.
Senja makin memerah lembayung. Dan kami masih menikmati minuman di taman kecil depan rumahnya. Sudah berbulan bulan, dengan tidak sengaja, aku selalu bisa hadir di tempat ini. Di mana perempuan itu selalu saja dengan tersenyum menyambutku untuk bersama untuk minum kopi atau teh di setiap senja.
Di senja yang lain, aku kembali datang. Dan seperti biasa dia menyambutku.
“Kenapa terlambat Zu? Lihatlah langit hampir gelap.” Tangannya lincah menuangkan teh ke cangkir.
“Aku sempat ragu, apakah mau menyapa atau tidak. Aku takut dirimu bosan,” jawabku.
“ Tidak Zu. Tidak. Aku tidak akan pernah bosan. Aku selalu suka dengan puisimu. Lantunan katamu, menjadi pelipur laraku. Waktu pun seakan berhenti saat engkau mengeja kata. Ibaratnya aku sebuah kembang, puisimu adalah tetasan air yang menyegarkan. Menjadikan aku lupa dengan segala takutku.
` “Syukurlah, terimakasih bila itu bisa membuatmu lebih nyaman. Dan ini ada sekuntum mawar untukmu.”
Sebuah benda warna merah segera kutunjukan kepada Sov. Dia terdiam sesaat. Memandangku dengan sendu. Tetap cantik.Kemudian wajahnya menunduk. Aku menarik nafas. Lagi lagi Sov seperti itu. “Aku ingin membantumu mengikis semua rasa takut.”
Sov membisu. Bibirnya bergerak seakan hendak berkata sesuatu. Dia berdiri lalu berjalan pelan menghadap lembayung yang sebentar lagi hilang.
“Ingin sekali aku menerima dan menamam kembang itu Zu. Pasti akan sangat membahagiakan, apalagi selalu ditemani puisi puisimu. Tapi entahlah, aku selalu takut. Takut dengan masa lalu akan terulang. Apakah semua keindahan darimu, puisi puisimu, semua rencana rencanamu adalah nyata? Sedang pembicaraan ini, pertemuan ini semuanya adalah kemayaan. Tidak ada ruang yang sesungguhnya."
“Sesuatu akan benar benar menjadi nyata, saat kita berniat menjadikan nyata,” kataku. Perlahan aku mendekati Sov lalu memeluknya dari belakang. Sembari memandang garis lembayung terakhir terakhir. “ Semua yang ada, memang sebatas imajinasi dalam kata kata. Tapi yakinlah, suatu saat akan menjadi nyata, ketika engkau mau mulai melangkah.”
Aku masih memandang foto itu. Entah sudah berapa lama.
==bersambung==
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H