Mohon tunggu...
Ken Satryowibowo
Ken Satryowibowo Mohon Tunggu... Freelancer - Covid Bukan Canda

Pencari pola. Penyuka sepak bola.

Selanjutnya

Tutup

Money

Utang di Antara Gen Alfa dan Kaum Sumbu Pendek

19 September 2021   22:43 Diperbarui: 19 September 2021   23:13 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Per hari ini, secara akumulatif, kita mewarisi utang ribuan triliun yang ditarik di zaman Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, hingga Presiden SBY. Jawablah jujur, apakah detik ini secara personal kita merasa terbebani utang negara yang dibuat di masa lalu itu? Lalu, apakah kita mesti marah-marah ke para mantan Presiden tersebut?

Kalau mau diistilahkan sebagai warisan, pemerintahan semua Presiden Indonesia meninggalkan utang, tanpa terkecuali. Pun sejak republik ini berdiri tegak, utang di masa kepresidenan siapapun mengalami kenaikan. Saya ulang lagi: seluruh presiden berutang dengan nominal yang sama-sama meningkat.

Jadi, tanpa kita sadari, ketika masih bayi atau bahkan belum lahir ke dunia pada era Presiden Soeharto berkuasa, saat itulah kita (Generasi X dan Y) secara otomatis telah diwarisi utang per kapita (total utang negara dibagi jumlah penduduk) dalam jumlah besar.

Begitu pula generasi Z yang sekarang berumur sekira 16 tahun. Tahukah kalian, saat engkau dilahirkan di 2005, ketika itu Presiden SBY baru setahun terpilih dan mulai menarik utang untuk membangun negeri, sehingga di kala itu pula utang per kepala bertambah. Apa 'dosa' kalian mesti menanggung utang jutaan rupiah itu? Kalian sekarang merasa terbebani lalu dendam ke Pak SBY?

Kendati belum ada survei atau riset terpublikasi, rasa-rasanya belum pernah kita temui suara sumbang atau ungkapan rasa jengkel dari generasi X, Y, dan Z kepada Presiden Soeharto hingga Presiden SBY lantaran dulu kala memimpin, mereka menempuh kebijakan utang. Sebaliknya, tanpa sadar sekali pun, kita telah nyata-nyata menikmati hasil pembangunan rezim mereka.

Terlepas dari rupa-rupa kekeliruan dalam kepemimpinan Presiden Soeharto, aset-asetnya dalam pembangunan kita manfaat hari ini: bandara, pelabuhan, jalan tol, SD Inpres, dan banyak lagi. Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, hingga Presiden SBY juga begitu besar meninggalkan legacy.  Mulai dari jembatan Suramadu, BPJS Kesehatan, beasiswa, hingga infrastruktur internet. Sebagian dari semua itu dulunya dibiayai lewat instrumen utang.

Bukan Generasi Cengeng

Lantas bagaimana dengan utang di era Presiden Jokowi yang kini totalnya mencapai lebih dari Rp6.000 triliun dan oleh para haters disebut akan membebani generasi selanjutnya? Apakah---sebagaimana digembar-gemborkan---Indonesia akan runtuh dan generasi Alfa (pasca Gen Z) bisa mati berdiri tersebab harus memikul utang yang digelar di era Pak Jokowi?

Hmmmm... Jawabannya sama dengan betapa santainya generasi X, Y, dan Z ketika mereka diwarisi utang oleh pemerintahan di zaman mereka lahir. Toh, semuanya sekarang baik-baik saja. Karena utang memang bagian dari alat membangun negara. Tidak pernah sekali pun mereka dikirimi surat tagihan utang sebagaimana acapkali dilontarkan oleh haters pemerintah. Mereka kalem lantaran paham bahwa utang negara yang akan bayar ya negara. Melalui penarikan pajak, yang mayoritas berasal dari industri besar---bukan usaha kecil, apalagi warga miskin.

Juga, secara langsung maupun tidak, Gen Alfa mengerti, utang pemerintah dan manfaatnya memang mesti disebut dalam satu tarikan napas. Umpamanya, tol yang membentang di sepanjang Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi akan lebih mereka rasakan faedahnya ketimbang oleh generasi uzur. Demikian halnya dengan peningkatan kualitas SDM yang tampaknya abstrak, tapi sangat signifikan buat memperbaiki masa depan mereka.

Para oposan/haters juga kerap khilaf kala mengimajinasikan masa depan Gen Y (Milenial), Gen Z, Gen Alfa, dan generasi berikutnya. Seolah-olah, generasi mendatang itu lemah dan mudah tersungkur karena terbebani utang negara. Padahal, anak-cucu masa depan bukanlah kelompok cengeng, apalagi golongan loyo dan pengemis belas kasihan. Sebaliknya, mereka adalah generasi berkualitas, generasi yang kompetitif. Antara lain karena telah dibekali infrastruktur yang tangguh dan peningkatan mutu SDM yang mumpuni.

Lebih-lebih kalau perekonomian nasional di masa mendatang betul-betul akan meroket seiring meningkatnya produktivitas di tengah bonus demografi dan kemajuan ekonomi digital. Jika hal itu terwujud, kue perekonomian yang disebut Produk Domestik Bruto (PDB) atau pun Produk Nasional Bruto (PNB) bakal kian jumbo. Maka, pajak yang terkumpul juga makin membengkak dan pada gilirannya membayar utang jadi lebih ringan.

Siasat Sumbu Pendek

Bagi kita yang berpikir panjang, kebijakan utang juga bermakna sebagai cara mengakselerasi pembangunan beberapa sektor prioritas yang tidak boleh ditunda lagi: infrastruktur dan SDM. Jika terus ditunda karena tidak punya uang, kesenjangan infrastruktur dan rendahnya kualitas warga negara justru akan jadi beban berat di masa nanti. Belum lagi kalau bicara efek pandemi. Kalau wabah ini tidak kunjung dikendalikan---tentu butuh anggaran besar dan karenanya perlu berutang---maka perekonomian sulit untuk segera bangkit.

Hal demikian akan sama sekali berbeda dengan manusia-manusia bersumbu pendek. Begitu ada pengumuman pemerintah menarik utang baru, misalnya melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), mereka langsung baper, marah, meledak-ledak, dan mencaci-maki. Ya karena sumbunya pendek tadi. Ya karena nalarnya cekak, pengendalian emosinya rendah. Mulutnya lebih lebar dibandingkan tempurung otaknya.

Terkait isu utang, gen sumbu pendek itu gemar menebar disinformasi. Ditujukan ke siapa saja, wabilkhusus generasi belia agar mereka panik, penuh khawatir, mencekam dan seketika membenci kebijakan publik. Provokasi itu terus-menerus dihamburkan, utamanya di media sosial. Agar 'dagangan' mereka laku keras dan dibeli anak-anak muda.

Yang terdengar mampu mereka dengungkan hanyalah: utang bengkak, utang ugal-ugalan, dan setiap kepala orang Indonesia menanggung beban utang Rp23 juta. Padahal, kalau logika itu dibalik, bukankah setiap bayi yang baru lahir ke Bumi Pertiwi secara otomatis juga dianugerahi aset negara sebesar Rp41 juta. Aset per kapita tersebut jelas lebih besar dari utang per kapita setiap kepala. Namun komparasi macam ini selalu gagal diucapkan oleh para tukang hujat itu.

Padahal, kaum sumbu pendek ini bukan hanya hadir dari kalangan yang kekurangan pengetahuan tentang utang. Ada pula yang berasal dari kelompok well educated, bahkan bergelar PhD di bidang ilmu ekonomi jebolan universitas kondang dari luar negeri. Namun karena kebencian dan/atau motif pribadinya, ibarat sebatang petasan sumbunya telah terpotong hingga menjadi sangat pendek. Tersulut sesaat saja, langsung meledak.

Sehari-hari, bani sumbu pendek itu bergentayangan di TV, kanal Youtube, linimasa Twitter, hingga main TikTok. Mereka menggelar operasi atas nama alam bebas demokrasi. Meledakkan isu utang di sana-sini. Militansinya luar biasa. Ada yang bergerombol dan punya sponsor. Ada pula yang mandiri layaknya lone wolf.

Jadi, keruh perkara utang hari-hari ini tidak lepas dari tindak-tanduk gen sumbu pendek ini. Kian keruh isunya, kian girang mereka. Kebalikannya, kalau narasi negatif tentang utang tak laku, mereka akan bangkrut dan dirundung nestapa. Tinggal seberapa cerdas warga negara menyikapinya: turut bermutasi sebagai manusia-manusia bersumbu pendek atau menjadi pribadi-pribadi tangguh pejuang masa depan. Agaknya, mayoritas orang Indonesia belum terlalu konyol untuk memilih yang pertama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun