***
Setali tiga uang dengan ronda malam, instruksi mendirikan dapur umum di dekat TPS saat pemungutan suara merupakan siasat mobilisasi massa dengan dalih mencukupi ransum relawan 02. Apalagi, Prabowo juga secara gamblang menyerukan 'lebaran' di TPS kepada para pendukungnya, dengan membawa ketupat dan menggelar tikar.
Lagi-lagi, mesti dipahami, pemilih yang tidak punya kecenderungan pada Paslon 02 akan merasa kurang nyaman dengan kerumunan massa di dapur umum tersebut. Apalagi pemilih minoritas yang cenderung 'takut' pada setiap mobilisasi politik macam itu.
Boleh jadi, karena keberadaan dapur umum dan 'lebaran' di TPS itu pula, mereka urung ke TPS. Boleh jadi mereka akan lebih memilih tinggal di rumah atau berpiknik ketimbang datang ke tempat pencoblosan. Bila itu terjadi, golput pun bakal menjadi-jadi.
Maka, mobilisasi massa dalam bentuk dapur umum sejatinya adalah wujud pengerasan politik identitas. Sehingga menjadi rawan terhadap distorsi, yang pada titik tertentu bisa berujung pada perseteruan horizontal.
Hal demikian, sekurang-kurangnya, tampak dari 'balasan' dari Banser yang akan juga melakukan mobilisasi massa untuk 'menjaga' TPS. Dengan militansi yang kuat dan personil yang masif, Banser tentu memiliki syarat yang cukup untuk 'melawan' dapur umum 02 dan 'lebaran' di TPS.
Itu sebabnya, sudahilah ambisi mendirikan dapur umum dan gelar tikar di TPS maupun ronda malam. Karena mudhorotnya lebih besar ketimbang manfaatnya. Karena potensi intimidasinya lebih besar daripada kerukunannya. Karena nuansa terornya lebih menonjol dibanding panorama kegembiraan dalam pesta demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H