Adios merupakan satu kata dalam Bahasa Spanyol-Amerika yang kira-kira semakna dengan goodbye, sayonara, atau sampai jumpa. Semacam salam perpisahan untuk ketemu lagi di lain kesempatan.
Dalam konteks kampanye Pilpres yang masih berlangsung hari-hari ini, mengucapkan selamat jalan kepada salah satu capres adalah sebentuk keprihatinan atas performa kandidat bersangkutan yang tak kunjung membaik.
Itulah yang kini, menurut pendapat saya, betul-betul terjadi pada sosok Prabowo Subianto. Bukan hanya tak kunjung membaik, performa Capres 02 itu, lagi-lagi menurut pandangan saya, makin mendekati Pilpres justru semakin memburuk.
Dusta di Ujung Lidah
Apa argumentasi saya mengatakan performa reputasi Prabowo justru semakin landai? Ada tiga alasan utama.
Nomor satu. Belakangan ini, para pendukung Paslon 02 begitu lincah memproduksi blunder. Yang paling anyar, tiga orang ibu-ibu yang diduga kuat sebagai anggota atau simpatisan Partai Emak-emak Pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (PEPES) menggelar kampanye hitam kepada Paslon 01.
Mereka memprovokasi warga dengan fitnah keji bahwa jika Jokowi-Ma'ruf terpilih, azan di masjid akan dilarang, tidak akan ada lagi yang memakai hijab, dan pernikahan sejenis bakal dibolehkan.
Alih-alih mengundang simpati, hasutan itu panen hujatan. Paslon 02 jatuh martabatnya lantaran mau tak mau harus disebut dalam satu tarikan napas dengan perilaku tak terpuji dari para pendukungnya tersebut.
Sebelum tiga emak-emak bermulut dusta itu viral, doa yang dikemas dalam bentuk sajak oleh Neno Warisman juga membetot emosi publik. Elit Badan Pemenangan Nasional (BPN) meminta kemenangan Prabowo-Sandiaga dengan warna kalimat mengancam Tuhan.
Jauh sebelumnya, Ratna Sarumpaet berulah dengan menyemburkan hoaks penganiayaan menyusul wajahnya yang babak belur. Padahal wajah Ratna tidak dipukuli, melainkan baru rampung operasi plastik. Bekas elit BPN Prabowo-Sandiaga yang dijuluki 'Ratu Hoaks' itu kini sedang diadili.
Itulah fakta yang ironis. Prabowo-Sandiaga yang konon dekat dan didukung emak-emak justru reputasinya diluluh-lantakkan oleh emak-emak itu sendiri. Karena ulah emak-emak pendukungnya, Paslon 02 terkesan surplus blunder.
Dagangan yang Membusuk
Nomor dua. Dagangan kampanye Prabowo yang paling utama adalah narasi ketimpangan dan dominasi asing dalam pengelolaan aset negara. Kedua dagangan itu kini membusuk karena sudah tidak laku.
Debat kedua capres membongkar penguasaan lahan Prabowo sebesar 340 ribu hektar atau lima kali luas Jakarta. Padahal Prabowo kerapkali mengatakan 1% orang kaya menguasai 80% lahan di Indonesia. Dengan demikian, kalimat itu dinilai hipokrit.
Bagaimana mungkin Prabowo leluasa menukar tambah narasi ketimpangan kepemilikan lahan dengan marjin elektoral, sementara dirinya sendiri adalah sang tuan tanah yang boleh jadi menjadi bagian dari 1% orang kaya yang ia kutuk dalam setiap kampanye?
Terkait isu aset strategis dikuasai oleh asing telah dijawab dengan akuisisi saham Freeport sebesar 51%, pengambil-alihan Blok Rokan Hulu, dan penguasaan Blok Mahakam. Maka, akan begitu sulit Prabowo berdagang nasionalisasi aset strategis dalam kampanyenya.
Dagangan berupa isu harga-harga kebutuhan pokok mahal pun bakal sulit dibeli. Karena faktanya, inflasi rendah, di kisaran 3,13 persen. Bagaimana bisa memperdagangkan emosi ibu-ibu rumah tangga ketika kebutuhan dapur mereka aman-aman saja?
Yang juga cukup telak, jual beli isu agama sudah kian jatuh pasarnya. Tuduhan kriminalisasi ulama sudah tak diminati. Tuduhan Capres 01 kurang taat beribadah sudah patah. Justru Capres 02 yang sepekan sekali ditanya shalat Jumat dimana oleh warganet.
Buntut dari anjloknya minat pada dagangan politisasi agama, antara lain tercermin pada acara Munajat 212 yang sepi peserta, tidak lagi menggelegar seperti dulu kala.
Dukungan Setengah Hati
Nomor tiga. Kecuali Gerindra, rasa-rasanya setiap parpol besar tidak diuntungkan kalau Prabowo terpilih. Apa alasannya? Jika Prabowo terpilih, maka 2024 ia akan mencalonkan diri sebagai petahana. Padahal, seluruh parpol ingin, Pilpres 2024 bersih dari kandidat petahana.
Dengan begitu, seluruh parpol sejatinya punya kepentingan yang sama. Yakni memenangkan Jokowi di 2019 karena di 2024 tidak mungkin maju lagi. Hanya jika tahun 2024 bebas dari keberadaan petahana, kader-kader muda calon pemimpin bangsa berada pada garis start yang sama menuju Istana.
Sejumlah variabel tersebut kiranya dapat memberi landasan sebuah hipotesis, bahwa dukungan kepada Prabowo semakin suram menjelang Pilpres 2019 yang tinggal menghitung hari. Adios, Prabowo....!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H