Menyusul viralitas penggalan 'Doa Mengancam Tuhan' yang dilafalkan Neno Warisman pada acara Munajat 212, di dalam pikiran saya menggelayut tiga pertanyaan besar. (1) Apa iya Neno tak paham bagaimana persepsi publik itu bekerja? (2) Bagaimana bisa Neno mengulang-ulang sejumlah blunder pernyataan? (3) Sebenarnya Bunda Neno bekerja untuk kemenangan Prabowo ataukah untuk Jokowi?
Untuk pertanyaan pertama, awalnya saya mencoba untuk berpikir positif. Bahwa mustahil Bunda Neno awam pada pengetahuan tentang komunikasi publik. Sebagai elit di Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Bunda tentu paham betul bahwa setiap tindakan politik mesti dikalkulasi dampak positif dan negatifnya, termasuk dalam konteks pelafalan 'Doa Mengancam Tuhan'.
Kendati telah disusulkan argumentasi bahwa dalam Perang Badar terdapat doa semacam itu, namun banyak pihak menilai, doa yang dikemas begitu sastrawi oleh Bunda Neno ini telah mencoreng kesucian Munajat 212. Apalagi, menyamakan Pilpres dan Perang Badar jelas-jelas keliru, konyol, dan dangkal.
Di titik ini, tidak mengherankan apabila Bunda Neno---baik sebagai pribadi maupun tim sukses Paslon 02---panen sentimen negatif. Rasa-rasanya begitu sulit dinalar jika Bunda tidak menghitung persepsi publik tatkala memasukkan variabel Pilpres sebagai perang habis-habisan dalam doanya. Sehingga patut dicurigai, Bunda sengaja melakukannya demi membetot persepsi negatif tersebut.
Untuk pertanyaan kedua, pada mulanya saya juga mencoba untuk berbaik sangka. Mungkin saja Bunda Neno hanya keseleo lidah, begitu saya pikir. Namun, bila menyimak polanya, apa iya blunder yang berulang dengan model serupa dapat dianggap keseleo lidah belaka? Ataukah ada unsur kesengajaan demi tujuan tertentu yang lebih besar?
'Doa Mengancam Tuhan' merupakan kontroversi ucapan Bunda Neno yang kesekian kali. Sebelumnya, Bunda memantik blunder dengan mengajak 'Jihad Harta' untuk kemenangan Prabowo-Sandiaga. Bahwa jihad dapat dia maknai begitu politis, itu terserah dia. Tapi apakah itu bukan tafsir yang ngawur?
Yang membahayakan adalah ketika dipahami bahwa Pilpres sebagai 'Perang Badar' sehingga jamaah Bunda meyakini setiap pihak yang berbeda pilihan sebagai musuh yang mesti dibinasakan. Sama bahayanya dengan konsep 'Jihad Harta' yang pada gilirannya memprovokasi jamaah memusuhi setiap orang yang berbeda pilihan politik. Apakah Bunda memang sengaja hendak menukar tambah narasi 'Perang Badar' dan 'Jihad Harta' dengan marjin elektoral Paslon 02?
Untuk pertanyaan ketiga, akhirnya saya curiga, bahwa Bunda Neno secara sadar bekerja untuk kemenangan Prabowo-Sandiaga, tapi secara tidak sadar bekerja untuk kemenangan Jokowi-Ma'ruf. Kok bisa? Apa alasannya? Ada dua.
Satu, kerumunan blunder yang dipersembahkan Bunda Neno jelas-jelas lebih menguntungkan Paslon 01 ketimbang Paslon 02. Biar bagaimana pun, 'Doa Mengancam Tuhan', 'Perang Badar', 'Jihad Harta', dan blunder sejenis itu bakal membangun persepsi publik bahwa pendukung Paslon 02 tidak mampu menandingi program dan prestasi Paslon 01. Karena tak mampu, maka dikompensasi dengan dagangan berlabel agama. Kebencian pada Jokowi tampaknya telah menggiring pendukung Paslon 02 menjalankan kampanye model ini dengan penuh kesengajaan.
Dua, perilaku Bunda Neno mirip seperti seorang 'double agent' alias agen ganda dalam film-film detektif. Di dalam kisah film spionase, agen ganda digambarkan memiliki moralitas ambigu dan keterampilan luar biasa menyebarluaskan disinformasi. Namun, pada saat agen ganda itu terjerat persoalan hukum, maka akan dicap sebagai pengkhianat besar. Ratna Sarumpaet sudah mengalaminya. Habis manis sepah dibuang. Akankah Bunda Neno menyusul? Moga-moga tidak.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H