Bukankah setiap calon pemimpin mesti jujur tentang dirinya? Bukankah publik sedang sangat sensitif pada perilaku hipokrit? Bukankah masyarakat lebih mendambakan pemimpin yang tampil sebagaimana aslinya ketimbang naif 24 karat?
Jantung Reputasi
Saya menduga, pelaporan Jokowi ke Bawaslu oleh BPN Prabowo-Sandiaga tidak dilatar-belakangi oleh serangan personal petahana kepada penantang dalam momentum debat kedua Pilpres 2019. Melainkan, karena timses penantang sadar betul, persoalan penguasaan tanah tersebut merupakan jantung reputasi Prabowo, utamanya terkait diskursus ketimpangan yang kadung diperjual-belikan selama ini.
Pelaporan ke Bawaslu itu sedikit banyak dapat dibaca sebagai ikhtiar agar kampanye negatif terkait 'tuan tanah' dapat berhenti dan tidak sampai menggerogoti elektabilitas kontestan kompetitor. Agar label 'feodal pedagang ketimpangan lahan' tidak terus menerus menjadi senjata makan tuan.
Dengan menempatkan capresnya sebagai korban serangan personal, timses berharap mendapatkan simpati masyarakat. Padahal publik juga tahu, playing victims kurang begitu laku di tengah mendidihnya suhu politik saat ini.
Toh, tidak ada aturan yang dilanggar oleh Jokowi karena mengomentari kepemilikan lahan lawan debatnya. Hal demikian telah dikonfirmasi oleh Bawaslu sendiri. Yang dilarang adalah bila salah satu calon atau paslon menyerang lawan debat dengan isu Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA).
Sampai di sini, duduk perkara 'narasi hipokrit sang tuan tanah', rasa-rasanya sudah cukup jelas....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI