Saat ini, media sosial sudah sangat lazim digunakan oleh semua kalangan. Media sosial digunakan untuk berbagi informasi, mempromosikan produk, atau sekadar berbagi foto-foto pribadi. Kita dapat memperoleh informasi-informasi yang bermanfaat, mulai dari informasi mengenai kesehatan hingga informasi mengenai lowongan pekerjaan, melalui media sosial. Banyak pula komunitas-komunitas yang memanfaatkan media sosial untuk melakukan campaign. Mereka memilih melakukannya di media sosial karena mudah, praktis, dan dapat menjangkau banyak orang sekaligus. Selain itu, media sosial juga menjadi pilihan perusahaan-perusahaan untuk mempromosikan produk mereka. Hal ini karena media sosial dapat menjangkau banyak orang yang sesuai dengan target pasar perusahaan. Namun, media sosial ternyata juga dapat berdampak negatif bagi seseorang.
Media sosial biasa digunakan untuk membagikan foto atau video pribadi. Kita dapat dengan mudah melihat kehidupan seseorang melalui foto atau video yang diunggah pada media sosial mereka. Dengan begitu, kita pasti pernah membanding-bandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang-orang yang kita ikuti di media sosial. Kita melihat orang-orang di media sosial sudah berhasil dalam berbagai bidang, sedangkan kita tidak seberhasil mereka. Kita melihat orang-orang di media sosial pergi keluar untuk berlibur, sedangkan kita sedang disibukkan oleh sesuatu hingga tak ada waktu untuk berlibur. Kita melihat orang-orang di media sosial sangat menikmati kehidupannya bersama dengan teman-temannya, sedangkan kita rasa-rasanya tidak memiliki banyak teman. Kita melihat orang-orang di media sosial memiliki tubuh dan wajah yang menarik, sedangkan kita tidak seperti mereka. Pikiran-pikiran itu terus muncul saat kita melihat postingan orang-orang yang kita ikuti di media sosial. Hal ini membuat kita tertekan. Kita merasa media sosial sangat toxic, hingga akhirnya kita berpikir untuk menutup akun media sosial kita. Dengan menutup akun, kita tidak akan melihat postingan orang lain dan tidak membanding-bandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Namun, apakah itu merupakan pilihan yang tepat?
Media sosial sejatinya hanyalah sebuah alat. Sebuah alat dapat berdampak baik atau buruk terhadap penggunanya tergantung dari bagaimana pengguna menggunakan alat tersebut. Contohnya pisau. Sebuah pisau dapat sangat bermanfaat ditangan seorang koki. Namun, sebuah pisau dapat menjadi berbahaya ditangan seseorang yang sedang putus asa. Begitu pun media sosial. Jadi, alih-alih berpikir bahwa media sosial toxic, bukankah pikiran kita lebih toxic? Kita dapat membenahi pola pikir kita dengan cara meningkatkan self-acceptance. Self-acceptance berarti menerima, mengakui, dan menghargai diri kita apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangan. Kebanyakan dari kita denial terhadap kekurangan diri dan berupaya untuk menghapus atau mengubah kekurangan tersebut. Padahal, memiliki kekurangan itu bukanlah hal yang buruk. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika sesuatu yang tidak bisa diubah itu kita rangkul bersama dengan kelebihan yang kita miliki menjadi bagian dari diri kita. Inilah yang disebut dengan self-acceptance.
Apabila sudah memiliki self-acceptance, kita tidak akan terpengaruh dengan hal-hal yang berada diluar kendali kita. Kita tidak akan terpengaruh lagi dengan postingan orang-orang di media sosial karena kita sudah menerima diri kita apa adanya dan tidak ada kesempatan bagi perasaan iri maupun insecure masuk ke dalam ke dalam pikiran kita. Dengan begitu, kita dapat memanfaatkan media sosial sebagai alat yang dapat memberi manfaat. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, media sosial dapat memberi kita banyak informasi. Kita dapat dengan mudah menambah pengetahuan melalui media sosial karena kemudahan aksesnya. Selain itu, media sosial juga dapat digunakan sebagai penyebar kebaikan dengan cara membagikan pengetahuan yang kita miliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H