Mohon tunggu...
Nadya Khennis Rozana
Nadya Khennis Rozana Mohon Tunggu... Penulis - Ex-Jurnalis TV9 Nusantara

Terima kasih telah menemukanku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gandrung Sewu: Atraksi Budaya Kekuatan Wisata

1 November 2023   09:23 Diperbarui: 1 November 2023   09:36 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harizzan/Flickr.com

Gandrung Sewu merupakan festival akbar tahunan dengan menampilkan ribuan penari Gandrung Banyuwangi. Tujuan utamanya adalah untuk menyatukan masyarakat dengan perbedaan kultur di Banyuwangi seperti Jawa, Madura dan Osing. Ketika semua orang berkumpul di festival maka semua perbedaan secara perlahan akan melebur. 

Penari Gandrung yang dilibatkan dalam festival ini adalah pelajar dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan tinggi minimal 140 cm. Tari yang dipentaskan dalam festival yakni tari Gandrung Kreasi yang bisa dipadukan dengan drama teatrikal. Tari Gandrung ditampilkan dengan perpaduan koreografi dan aksi teatrikal yang terbagi dalam beberapa fragmen. Oleh sebab itu, festival Gandrung Sewu selalu mengambil tema berbeda tiap tahunnya. 

Perjalanan Panjang Festival Gandrung Sewu

Gandrung Sewu adalah festival kesenian tradisional yang memiliki sejarah panjang dan bercerita tentang kehidupan masyarakat Banyuwangi. Sekitar tahun 1970-an, konsep penampilan Gandrung secara besar-besar pernah diadakan oleh Bupati Banyuwangi Djoko Supaat Slamet. Ia membuat sebuah kebijakan revitalisasi kebudayaan daerah agar kesenian asli Banyuwangi dapat dikembangkan kembali. Hingga pada Juli 1974, untuk pertama kalinya festival Gandrung diadakan. Sayang sekali, kegiatan tersebut tidak berlanjut di tahun-tahun berikutnya. 

Kemudian pada tahun 2012, untuk meneruskan kebijakan Djoko Supaat Slamet, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas meminta bantuan kepada para seniman mengadakan sebuah pertunjukan spektakuler. Maka, terbentuklah festival Gandrung Sewu. 

Penampilan kolosal tahunan yang melibatkan seribu penari Gandrung ini dicetuskan oleh Paguyuban Pelatih Seniman dan Tari Banyuwangi (Patih Senawangi) yang diketuai oleh Suko Prayitno. Sebenarnya, ide tersebut telah ada sejak tahun 2006. Namun, pada waktu itu tidak dapat dilaksanakan karena kurangnya jumlah pakaian yang hanya terhitung 650 pasang. 

Patih Senawangi bukannya tanpa kendala untuk membangun festival yang megah ini. Keraguan dan minimnya support dari pemerintah membuat mereka kesulitan mencari bantuan untuk keperluan. Pemerintah batu turut andil pada pagelaran festival yang ketiga tahun 2014. Pemerintah Banyuwangi mulai menerbitkan peraturan dan mengalokasikan anggaran agar Festival Gandrung Sewu berjalan sukses dan tertata rapi. 

Pengambilan Tema yang Berbeda Tiap Tahun

Penyelenggaraan festival Gandrung Sewu tiap tahunnya memiliki tema yang berbeda. Tema yang diambil biasanya memrupakan kisah perjuangan rakyat Banyuwangi di masa lalu. Mulai dari tahun 2012, festival ini mengambil tema Jejer Gandrung yang mengisahkan tentang sejarah kelahiran tari Gandrung. 

Tahun 2013, mengusung tema Paju Gandrung. Paju merupakan babak yang sepenuhnya diisi oleh tari, menyanyi dan ngrepen (ajakan penari pada tamu). Di tahun 2014, festival Gandrung Sewu mengambil tema Seblang Subuh. Menceritakan perjalanan Gandrung pada masa pemerintahan Bupati Banyuwangi kelima yakni Pringgokusumo.  Pada tahun 2015, tema yang diangkat adalah Podo Nonton.  Karena syairnya mengandung arti heroisme dan perjuangan rakyat Banyuwangi ketika melawan penjajah.

Kemudian tahun 2016, dipilihlah Seblang Lukinto. Secara cerita merupakan kelanjutan dari tahun sebelumnya dengan menceritakan kebangkitan prajurit Rempeg Jogopati yang tersis untuk kembali melawan penjajah. Pada tahun 2017, tembang gending yang digunakan pengiring tari Gandrung dipilih menjadi tema festival yakni Kembang Pepe. 

Beranjak ke tahun 2018, Layar Kumendung menjadi tema yang dipilih, menceritakan perjuangan bupati pertama Banyuwangi, Mas Alit. Tahun 2019, Panji-Panji Sunangkoro menjadi tema yang ditampilkan. Masih mengisahkan perlawanan prajurit Rempeg Jogopati dalam perlawanan terhadap Belanda.

Setelah terjeda pada tahun 2020 karena pandemi, Gandrung Sewu sempat diselenggarakan pada tahun 2021. Namun dengan konsep virtual di berbagai tempat. Akhirnya kembali digelar pada tahun 2022 dengan tema Sumurane Tlatah Blambangan yang bermakna Kilau Bumi Blambangan. Kepala DInas Kebudayaan dan Pariwisata, MY Bramuda mengatakan tema ini diambil menunjukkan spirit Banyuwangi yang bangkit usai pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun