Mohon tunggu...
Kenny Aprilliantika
Kenny Aprilliantika Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

Mari beropini

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Cyber Diplomacy: Pentingnya Keamanan Siber bagi Pertumbuhan Ekonomi Global (G20)

1 Desember 2021   16:28 Diperbarui: 1 Desember 2021   16:33 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cybercrime merupakan hal yang lumrah terjadi di era digital seperti sekarang ini. Era digital memberikan kemudahan bagi manusia, yang seakan-akan hampir sangat dimanjakan oleh kemajuan ini. 

Globalisasi mendorong dunia ini seolah-olah tidak ada batasnya, bahkan bisa melakukan apa saja secara virtual hanya dengan internet dan perangkat. 

Kemajuan globalisasi telah membuat manusia sangat diuntungkan dalam segala lini kehidupan, yang sangat dimudahkan dengan kemajuan tersebut. Tidak memberikan peluang yang sangat menguntungkan bagi penjahat. 

 

Praktik kejahatan di dunia marak terjadi, misalnya cyberbullying yang sering dijumpai di media sosial, atau modus penipuan yang selama pandemi COVID-19 telah sangat meresahkan jutaan orang di seluruh dunia. 

Kejahatan ini dilakukan melalui media sosial yang bertujuan untuk mengetahui informasi pribadi kita (phishing) yang akan digunakan untuk sesuatu yang dapat merugikan. 

Jika melihat perbincangan belakangan ini di dunia maya, aplikasi Instagram yang sering digunakan untuk mengambil foto atau video justru bisa membuka celah bagi para penjahat jika pengguna tidak bijak dalam menggunakan aplikasi tersebut.

 Ada sebuah fitur bernama "Add Yours" yang merupakan salah satu fitur prompt sticker dari Instagram yang memberikan akses ke penjahat pencurian data. 

Anehnya, orang-orang masih eksis dalam menggunakan fitur tersebut dengan alasan trend tanpa menyadari akibatnya dan bahwa ini adalah salah satu modus pencurian data yang didapatkan secara gratis. 

Berbagai kejahatan yang dilakukan melalui dunia maya dinilai sangat merugikan baik negara (state) maupun sekelompok orang (non-state) dalam hubungan internasional.

Kejahatan didunia maya dalam hubungan internasional adalah masalah serius dan sangat diperlukan adanya cyper diplomacy untuk meminimalizir atau pencegahan dalam kasus ini. Karena serangan siber bisa sama berbahayanya dengan serangan biasa seperti pada umumnya. 

Serangan siber dapat memutuskan aliran listrik ke jutaan orang. Lebih buruk lagi jika dilakukan terhadap menara kontrol pesawat atau fasilitas nuklir serangan dunia maya bisa merenggut ribuan nyawa. 

Hal ini tentu menjadi ancaman yang sangat serius apabila tidak mendapat penanganan yang baik, karena hal ini menyangkut kepentingan dan keamanan suatu Negara (Tiara Dewi, Muhammad Amir Masruhim, 2016). 

Jika kemajuan globalisasi ini sangat memberikan keuntungan bagi manusia, maka Apa yang menjadi semakin menarik dan menjadi fokus utama bagi setiap kemungkinan yang dapat terjadi dunia maya yaitu adalah memunculkan bentuk dan ekspresi baru dari pemerintahan dari seluruh negara di dunia seperti perubahan paradigmatik dalam konstelasi relasi kuasa antara individu, pemerintah, dan institusi sosial. 

Perdebatan semacam itu muncul dari kualitas teknologi informasi dan komunikasi yang merupakan sarana untuk memfasilitasi bentuk pemerintahan yang modernis berdasarkan geopolitiknya. 

Tidak mau ketinggalan dengan inovasi teknologi informasi dan komunikasi yang baru, setiap negara berlomba-lomba untuk mendapatkanya karena menurut penulis hal tersebut sangat penting bagi keamanan siber. Apabila negara kita ketinggalan maka ancaman siber akan diperkirakan lebih rentan masuk.

Dengan demikian batas-batas negara bangsa dikatakan melemah baik dari perkembangan ekonomi global di dan kurangnya kontrol oleh pemerintah nasional atas komunikasi di dunia maya. 

Perubahan identitas politik yang ditandai dengan runtuhnya kelas sosial, mode organisasi politik patriarki dan rasial dan penggantiannya oleh beragam gerakan yang memperjuangkan perbedaan sosial juga dapat menemukan ekspresi di dunia maya. 

Namun dunia maya bukanlah domain yang tidak terbantahkan dan pemangku kepentingan dalam politik negara-bangsa modern tidak begitu mudah tergeser(Blakely, 2001). 

Oleh karena itu, masalah pengawasan, kontrol, dan privasi sehubungan dengan Internet telah menyita perhatian media dunia dalam beberapa tahun terakhir, seolah-olah sebagai akibat dari kekhawatiran negara yang diperbarui terhadap keamanan, kejahatan, dan keuntungan ekonomi. 

Dengan ketergantungan yang semakin besar pada Internet dan teknologi komputer kepentingan negara semakin terintegrasi dalam domain siber. Cyber Diplomacy dapat menjadi alat penting di mana negara-negara dapat bekerja sama untuk menetapkan standar atau norma di dunia maya dan menanggapi ancaman dan kerentanan dunia maya. 

Namun untuk memanfaatkan alat ini secara maksimal negara-negara perlu merangkul cyber diplomacy mengintegrasikannya ke dalam birokrasi mereka dan bekerja untuk mengatasi tantangan baru yang ditimbulkannya (Torres Jarrn & Riordan, 2020). 

Jadi pada intinya Cyber diplomacy itu adalah sebuah diplomasi yang memiliki tujuan untuk menjaga keamanan siber terkait masalah atau isu kepentingan nasional suatu negara yang dinilai dapat mengancam keamanan siber suatu negara. 

Munculnya cyber diplomasi akibat sebuah reaksi ketika kejahatan didunia maya semakin meningkat dalam skala global. Melalui cyber diplomasi setiap negara-negara di seluruh dunia dapat melakukan kolaborasi untuk menangani ancaman siber seperti keamanan informasi. 

 

Tindakan di dunia maya termasuk serangan dunia maya sering kali bersifat transnasional dan oleh karena itu mungkin memerlukan tanggapan transnasional. 

Misalnya dalam menanggapi "serangan siber lintas atas" negara-negara harus bekerja sama dalam "berbagi informasi pengumpulan bukti dan penuntutan pidana" terhadap para pelaku serangan (Cyber Diplomacy: Benefits, Developments, and Challenges, 2015). 

Memang tidak ada negara yang dapat melindungi diri dari ancaman dunia maya maka dari itu Cyber Diplomacy tidak hanya penting untuk respon internasional yang efektif terhadap ancaman siber tetapi negara juga harus terlibat aktif dalam berdiplomasi untuk mengembangkan standar yang kemudian hari akan dapat mengatur kerjasama internasional ekonomi ini. 

Karena penggunaan dan relevansi dunia maya terus berkembang negara-negara menghadapi kurangnya standar yang ditetapkan untuk mengelola interaksi dan tanggapan di dunia maya terhadap ancaman peristiwa yang terkait dengan keamanan jaringan. 

Pada akhirnya cyber diplomacy bukan hanya sebuah kebutuhan tetapi juga sebuah peluang. Dimana, Cyberspace ini menyediakan ruang untuk konektivitas global.

 

Cyber diplomacy menimbulkan banyak tantangan bagi bangsa banyak di antaranya terkait dengan hukum politik dan teknologi. Tantangan tersebut antara lain keengganan beberapa negara untuk melakukan cyber diplomacy , kemudian masalah alokasi di dunia maya dan perkembangan cyber diplomacy yang pesat, perpecahan politik di antara negara-negara bagian, kesenjangan  kapasitas teknologi Negara dan tumpang tindih cyber diplomacy dengan bidang lain dan kesulitan dalam melindungi kepentingan siber organisasi non-negara. 

Keamanan siber kini menjadi vital agi pertahanan dan keamanan nasional dan negosiasi di dunia siber dapat berdampak besar pada kepentingan ekonomi nasional. 

Oleh karena itu negara-negara harus melakukan cyber diplomacy di samping bentuk-bentuk diplomasi lainnya. Hubungan ini berimplikasi pada struktur aparatur penyelenggara negara. 

Meningkatnya relevansi cyber diplomacy  dapat menentukan peran dan posisi yang ditunjuk secara khusus seperti yang diusulkan untuk Amerika Serikat dalam Undang-Undang Cyber diplomacy. Di sisi lain posisi tersebut tidak dapat diungkam sedemikian rupa sehingga mengganggu koordinasi dengan departemen birokrasi lainnya.

Konflik atas kehadiran berbagai perusahaan di jaringan 5G menggambarkan risiko dengan mempolitisasi pertemuan penetapan standar industri internasional untuk merugikan negara-negara yang kurang maju secara digital. Namun, dinamika ini menciptakan risiko aturan yang ditetapkan oleh ekonomi negara yang kuat dengan mengesampingkan negara lain. 

Pengguna dan pemasok Internet non-negara bagian adalah juga dikecualikan. Sifat Internet yang multi-pemangku kepentingan tercermin dalam Internet Perusahaan untuk Menetapkan Nama dan Nomor tetapi tidak tercermin dalam upaya saat ini untuk menetapkan norma perilaku yang lebih luas dalam sistem PBB (Barrinha & Renard, 2017). 

Ini tidak hanya meningkatkan kepentingan negara di atas kepentingan pengguna Internet tetapi mengabaikan perusahaan Internet dan platform media sosial yang kuat. Mengamankan persetujuan kekuatan dunia maya utama untuk perilaku internasional semacam itu norma tidak akan mudah. Namun, kumpulan norma perilaku yang diterima secara luas, tidak selalu dihormati yang menawarkan persatuan bagi aktor negara dan non-negara. 

Masuknya Wabah COVID-19 telah menunjukkan urgensi masalah ini. Ketika Lockdown  terjadi di hamper seluruh Negara di dunia  membuat masyarakat lebih bergantung pada teknologi digital dan hal tersebut  sangat rentan terhadap serangan siber dan adanya disinformasi.

Selain itu, dalam "Strategi Nasional untuk Mengamankan 5G," yang dirilis pada Maret 2020 oleh Amerika Serikat dengan tujuan untuk menyerukan untuk mengadopsi "prinsip-prinsip keamanan 5G" yang diuraikan dalam "Proposal Praha" dalam Konferensi Keamanan 5G Praha 2019. 

Kongres juga mengesahkan Secure 5G and Beyond Act pada Maret 2020, yang mana antara lain mengharuskan Presiden untuk terlibat dalam cyber diplomacy. Cyber diplomacy juga menjadi sorotan selama ketegangan antara China dan Amerika Serikat pada tahun 2015 kemudian setelah Amerika Serikat menuduh peretas yang berasal dari China yang melakukan serangan siber dan mencuri data dari Kantor Manajemen Personalia AS (Blakely, 2001). 

Dalam menyelesaikan masalah tersebut, kedua negara melakukan cyber diplomacy. Sebagai resolusi, Amerika Serikat dan China sepakat bahwa keduanya tidak akan melakukan atau secara sadar mendukung pencurian kekayaan intelektual yang dimungkinkan dapat diakses melalui dunia maya. 

Termasuk  juga rahasia dagang atau bisnis rahasia lainnya untuk keuntungan komersial. Negosiasi  eksklusif antar negara dapat menyebabkan terlalu memprioritaskan kepentingan nasional seperti penuntutan penjahat dunia maya, yang berpotensi merugikan kepentingan lain seperti kebebasan internet. Tanpa kolaborasi aktif antara kepentingan publik dan swasta, cyber diplomacy berisiko terkucilkan manfaatnya dari ruang siber bagi aktor non-negara.

Menurut penulis Negara-negara yang tergabung dalam G20 harus dapat mempromosikan cyber diplomacy untuk mengembangkan pendekatan alternatif untuk mencapai kesepakatan tentang norma perilaku di dunia maya. Karena seperti yang telah dibahas sebelumnya mengenai pentingnya norma atau etika dalam bersosialisasi di dunia maya adalah hal yang sangat penting dalam keamanan siber. 

Dan pengaruhnya untuk ekonomi cukup besar apabila tidak cepat diatasi dapat menyebabkan ancaman siber baru. Kemudian, Negara dalam G20 juga harus mendukung peningkatan kapasitas dalam cyber diplomacy di antara aktor negara dan non-negara. Ini harus membantu aktor negara dan non-negara untuk mengidentifikasi hasil pilihan bersama, berdasarkan norma-norma perilaku yang sepenuhnya dapat diterima di dunia maya dan dapat dibangun. 

Cyber diplomacy ini perlu memanfaatkan sepenuhnya teknologi baru dalam mempromosikan berbagai keterlibatan antara aktor negara dan non-negara. Teknologi baru seperti kehadiran 5G ini harus terus dimanfaatkan dalam menumbuhkan perekonomian global dan mengantisipasi ancaman siber. 

Dan Penggunaan platform media sosial saat ini sebagai alat untuk diplomasi publik dalam mempromosikan kapasitas cyber diplomacy adalah langkah yang bagus. Terakhir, G20 perlu mengembangkan cyber diplomacy sebagai alat praktis untuk meredakan eskalasi konflik atas teknologi baru dan terlebih dalam mengurangi risiko yang terkait dengan meningkatnya politisasi penetapan standar industri.

 

Daftar Pustaka

 

Barrinha, A., & Renard, T. (2017). Cyber-diplomacy: the making of an international society in the digital age. Global Affairs, 3(4--5), 353--364. https://doi.org/10.1080/23340460.2017.1414924

Blakely, E. J. (2001). Competitive advantage for the 21st-century city: Can a place-based approach to economic development survive in a cyberspace age? Journal of the American Planning Association, 67(2), 133--141. https://doi.org/10.1080/01944360108976221

Cyber Diplomacy: Benefits, Developments, and Challenges. (2015).

Tiara Dewi, Muhammad Amir Masruhim, R. S. (2016). No Title No Title No Title. In Laboratorium Penelitian dan Pengembangan FARMAKA TROPIS Fakultas Farmasi Universitas Mualawarman, Samarinda, Kalimantan Timur (Issue April).

Torres Jarrn, M., & Riordan, S. (2020). The cyber diplomacy of constructing norms in cyberspace. T20 Saudi Arabia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun