Mohon tunggu...
Kenji Naim Hutama
Kenji Naim Hutama Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa

Game

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Luxury and Social Status: Mengapa Merek Mewah Jadi Simbol Prestise?

7 November 2024   20:01 Diperbarui: 7 November 2024   20:23 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam era modern ini, kemewahan telah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar gaya hidup. Merek-merek mewah seperti Louis Vuitton, Chanel, Rolex, dan Gucci menjadi penanda status sosial yang diterima secara luas. Produk-produk mewah tersebut bukan sekadar benda, tetapi simbol dari kesuksesan dan keunggulan dalam masyarakat. Banyak sekali orang rela menghabiskan sejumlah uang untuk membeli produk ini sebagai bukti dari pencapaian dan kelas sosial mereka. Fenomena ini menarik karena menunjukkan adanya pergeseran dari nilai tradisional di mana identitas sosial seseorang sekarang tercermin melalui barang yang dimiliki orang tersebut. 


Memang benar jika dibandingkan dengan produk biasa, barang-barang dari merek mewah tidak hanya menawarkan kualitas yang lebih baik tetapi juga memiliki desain mencolok yang menarik perhatian. Tas desainer, misalnya, sering kali dibuat dengan bahan berkualitas dan dilengkapi dengan detail atau pattern khusus yang menunjukkan ketelitian dalam pembuatannya. Jika dibandingkan dengan tas biasa, fungsinya mungkin serupa, membawa barang. Namun, harga, eksklusivitas, dan persepsi nilai dari tas mewah berbeda jauh. Di sisi lain, bisa ditemukan banyak produk dengan harga terjangkau yang juga berkualitas, tetapi pastinya tidak dilengkapi dengan status sosial yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa banyak orang membeli barang mewah bukan hanya karena kebutuhan fungsional dan kualitasnya, tetapi untuk memperoleh penghargaan sosial yang diberikan oleh masyarakat.


Misalnya, seseorang yang mengenakan jam tangan Rolex atau membawa tas Hermes akan dipandang "berbeda" di mata orang lain. Jam tangan itu bukan sekadar alat penunjuk waktu, tetapi ia juga menjadi penanda yang mengkomunikasikan kesuksesan, gaya hidup kelas atas, dan prestise pemiliknya. Masyarakat sekitar, secara sadar maupun tidak sadar, merespons dengan pandangan tertentu terhadap individu yang mengenakan barang-barang mewah ini. Mereka seolah mendapat penghormatan otomatis karena produk tersebut memberikan kesan bahwa pemiliknya memiliki kekuatan finansial dan pencapaian tinggi. Dalam banyak hal, produk mewah berperan sebagai "identitas sosial instan," yang langsung memberikan kredibilitas dan pengakuan tanpa mempedulikan tentang pencapaian dan realita pemiliknya.


Di Indonesia, fenomena ini terlihat jelas dalam penggunaan barang-barang seperti mobil BMW, Mercedes-Benz, atau Lexus di kalangan pengusaha dan selebriti. Kendaraan mewah ini tidak hanya menjadi alat transportasi, tetapi juga simbol dari kesuksesan yang mereka raih. Sama halnya, para selebriti yang sering kali terlihat mengenakan pakaian atau aksesoris dari merek-merek internasional seperti Dior atau Balenciaga dalam acara-acara publik atau postingan di media sosial. Di media sosial, barang-barang yang dipamerkan bukan hanya untuk menunjukkan gaya, tetapi juga status yang mereka miliki, dan sering kali diikuti dengan peningkatan jumlah followers atau reputasi.Bahkan di pengalaman saya selama ekskursi, sebuah program dimana saya dikirim ke pesantren untuk mendapatkan pengalaman baru, santri-santri di pesantren yang kunjungi tetap memamerkan barang-barang mewah mereka kepada sesama dan menunjukkannya di sosial media. Hal ini sangat menarik karena santri-santri yang seharusnya diajarkan pentingnya nilai moral dan kualitas pribadi seseorang, tetap melakukan hal ini yang sangat superficial. Contoh ini mencerminkan bagaimana masyarakat mengaitkan merek mewah dengan popularitas dan kesuksesan, serta bagaimana barang-barang tersebut menjadi alat untuk memperoleh pengakuan dari orang lain.


Menurut saya, ketergantungan pada merek-merek mewah sebagai simbol status sosial menimbulkan dilema. Di satu sisi, barang-barang tersebut memberikan kesempatan bagi seseorang untuk mengekspresikan dirinya dan meraih penghargaan sosial. Namun, di sisi lainnya, fenomena ini menunjukkan bahwa banyak sekali orang, terutama di Indonesia, yang merasa perlu mendapatkan validasi dari masyarakat melalui kepemilikan barang mewah. Padahal, nilai seorang individu seharusnya tidak diukur dari merek atau harga barang yang dimiliki, melainkan dari kualitas pribadi dan kontribusinya terhadap lingkungan sosial. Menurut saya, tren ini mencerminkan bahwa masyarakat modern cenderung mengukur kesuksesan melalui pencapaian material, padahal hal tersebut bersifat lebih sementara dan dangkal.


Jika kita analogikan, barang-barang dari luxury brands adalah seperti medali atau penghargaan dalam kompetisi. Sama seperti atlet yang mendapatkan medali emas setelah memenangkan perlombaan, seseorang yang mampu membeli barang mewah dianggap sebagai "pemenang" dalam kompetisi sosial. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa "kompetisi sosial" ini tidak memiliki aturan yang jelas dan hasilnya sangat subyektif. Medali ini bukan diberikan berdasarkan sebuah kompetisi yang nyata, tetapi lebih kepada daya beli yang dimiliki seseorang. Analoginya menunjukkan bahwa dalam masyarakat modern, trofi sosial ini bukan didapatkan melalui prestasi atau kerja keras semata, tetapi lebih kepada kemampuan finansial, yang tidak selalu menggambarkan kualitas pribadi seseorang.


Produk-produk dari luxury brands memiliki ciri khas yang gaudy dan menonjol, baik dari segi desain, logo, maupun material yang digunakan. Ambil contoh tas Birkin dari Herms, yang dibuat dari high quality leather dan handmade oleh pengrajin terampil. Setiap tas membutuhkan waktu berjam-jam untuk diselesaikan, menghasilkan produk yang eksklusif dan langka. Logo, detail, dan kualitas jahitan merupakan bagian dari daya tarik produk ini. Bagi pemiliknya, memiliki tas seperti ini memberikan rasa bangga dan menjadi sebuah bagian dari identitas mereka. Produk ini bahkan sering kali dijadikan koleksi yang nilainya semakin tinggi seiring waktu. Hal ini menunjukkan bagaimana barang mewah memiliki karakteristik yang bukan hanya fungsional, tetapi juga estetis dan emosional, yang memberikan nilai tambah bagi pemiliknya.

Dalam dunia yang terus berubah dan semakin terhubung, luxury brands dan status sosial menjadi dua hal yang saling berkaitan erat. Masyarakat modern tampak semakin memperhatikan bagaimana mereka dipandang dan dipersepsikan oleh orang lain, dan produk mewah menjadi alat untuk mengkomunikasikan identitas sosial ini. Sementara barang-barang ini menawarkan kesan elegan dan prestise, penting bagi kita untuk melihat lebih jauh dari sekadar merek. Sesuai kata-kata Albert Einstein, "Berusahalah untuk menjadi seseorang yang memiliki nilai, bukan hanya seseorang yang sukses." Pengakuan sosial sejati bukan hanya dari apa yang dimiliki, tetapi dari kontribusi dan dampak positif yang kita berikan kepada orang lain di sekitar kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun