Mohon tunggu...
Ken Hanggara
Ken Hanggara Mohon Tunggu... -

Pemuda yang menyukai sastra dan seni. Tulisannya banyak yang berupa cerpen dan puisi, juga beberapa novel. Untuk menghubungi bisa melalui email: kenzohang@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Agar Minus Tak Lagi Menangis: Proses Kreatif Buku Kumpulan Cerpen "Minus Menangis"

5 Maret 2014   14:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:13 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Ken Hanggara

Menulis adalah kegiatan yang menyenangkan bagi saya. Meski begitu, tak dipungkiri, seringkali beberapa kendala datang menghambat. Salah satu kendala yang paling sering terjadi adalah kebuntuan saat mengembangkan ide. Coba bayangkan, saat tengah asyik melamun, tiba-tiba ada ide berkelebat dalam kepala. Tak ayal, kita pun segera bangkit, mengambil pena, lalu mulai menulis. Akan sangat nikmat bila ide tadi berkembang seiring dengan bekerjanya jemari mengolah kata. Namun, apa jadinya bila berhenti di tengah jalan?

Saya punya dua analogi dalam menulis. Bagi saya ide itu bagaikan sebongkah batu. Sedangkan sebuah karya, ibarat rumah yang siap ditempati. Batu tidak akan pernah mempunyai arti apabila ia tetap diam dalam keberadaannya. Sedangkan tanpa batu, rumah tidak akan pernah berdiri. Maka, "sebongkah batu" akan memberi arti bila kita menjadikannya bagian dari pondasi "rumah" yang akan dibangun.

Lalu, bagaimana caranya agar "rumah" itu selesai? Serta bagaimana pula agar kita tidak kekurangan "batu"? Semua pertanyaan ini dapat terjawab jika kita benar-benar menginginkan "rumah" itu ada. Mau tidak mau, segala upaya dilakukan. Semakin keras upaya, semakin jelas menunjukkan seberapa serius keinginan kita untuk memiliki "rumah" tersebut. Nah, dengan pemikiran semacam inilah, selama ini saya mampu mengatasi kebuntuan dalam mengembangkan ide. Saya tanamkan dalam alam bawah sadar, bahwa: "Aku tidak akan berhenti sampai rumah ini selesai kubangun!"

Metode menulis ini saya sebut dengan metode "Rumah Batu". Mungkin ini sangat aneh. Tapi setidaknya dengan cara ini; "menanam pemahaman bahwa tulisan layaknya sebuah rumah", saya merasa sangat termotivasi oleh diri sendiri, untuk terus mengembangkan ide yang buntu, agar tidak terbengkalai, hingga menjadi tulisan yang utuh.

Salah satu buktinya adalah saat saya menulis kumpulan cerpen "Minus Menangis". Buku ini tak jauh berbeda dari dua buku saya sebelumnya (jika dilihat dari cara pembuatannya). Saya selalu menerapkan metode di atas. Dalam beberapa kesempatan, kebuntuan dalam menulis pasti terjadi. Tidak ada penulis yang tak pernah mengalaminya. Namun, dengan adanya metode tersebut, saya seolah terdorong untuk berpikir kreatif, mencari celah dari kebuntuan tadi, untuk menemukan kemungkinan baru yang bisa dieksplor.

Pada awalnya, "Minus Menangis" sama sekali tak pernah terbayang di pikiran. Bahkan saya sendiri tak berniat untuk menulis buku ini. Namun seperti halnya waktu, kedatangan ide tak bisa diduga kapan, di mana, serta bagaimana. Suatu pagi di akhir bulan Mei 2013 lalu, saya dan keluarga berlibur ke kota Malang, Jawa Timur. Rencananya hari itu kami akan pergi ke pantai. Sebenarnya pantai bukan tempat favorit saya. Apalagi pantai tujuan kami--menurut saya--tidak terlalu istimewa; Pantai Balekambang. Bukan karena tempatnya kurang bagus, melainkan saya sendiri sering merasa bosan dengan pemandangan pantai yang itu-itu saja. Saya lebih senang wisata alam di air terjun atau gunung. Kala itu, lubuk hati saya berbisik: "Bersenang-senanglah hari ini, apa pun yang terjadi. Meski tidak suka, setidaknya kau berlibur!" Dan saya pun patuh. Apa salahnya bersenang-senang?

Saya sempat menduga tidak akan ada ide menarik untuk tulisan saya hari itu. Namun dugaan itu sungguh salah. Ide bagus justru datang saat mobil yang saya tumpangi melaju kencang. Tak jauh sebelum kami sampai di pantai itu, di tepi jalan, saya melihat seorang kakek tua berbaju lusuh, penuh lubang, tengah berjalan sambil memikul sebatang sapu. Apa yang dia lakukan, batin saya. Mata ini lekat menatapnya dalam-dalam, sampai kakek tua itu tak terlihat. Sejak dulu saya memang tertarik dengan kehidupan pedesaan, dari mulai orang-orangnya, keindahan alamnya, sampai profesi mereka. Maka, bila melihat segala yang berkaitan dengan itu, saya merasa seolah ada yang melempar kepala ini dengan sebongkah batu. Segeralah setelah kakek itu menghilang, saya catat "sebongkah batu" yang saya dapatkan pagi itu dalam buku catatan.

Beberapa hari setelahnya, tepatnya sore tanggal 3 Juni 2013, saya memutuskan untuk menulis sebuah cerpen. Semangat saya menggebu-gebu. Tiga bulan tak menulis cerpen, rasanya seolah hampa. Jadilah senja yang sunyi itu bak reuni dengan sahabat yang tiga tahun lamanya berpisah. Oh, indahnya pertemuan kami!

Namun sayangnya, keindahan itu tak sebanding dengan pusingnya kepala saya. Entah kenapa menulis cerpen menjadi tidak selancar sebelumnya. Saya berhenti di beberapa bagian, berpikir keras, mengutak-atik satu kata dengan kata lainnya, mengolah satu per satu kalimat, berdiri, berjalan keliling ruangan, untuk kemudian kembali melanjutkan menulis.

Akhirnya, dalam waktu kurang lebih 3 jam, dengan bersusah payah, akhirnya selesailah sebuah cerpen berjudul "Telanjang". Inspirasinya dari kakek tua pemikul sapu tadi. Cerpen itu bercerita tentang kondisi kejiwaan lelaki miskin yang dikhianati oleh banyak orang, bahkan oleh bangsanya sendiri. Senang rasanya, setelah tiga bulan tak sekali pun menulis cerpen, rindu ini pun terobati. Di waktu yang hampir bersamaan, perut saya terasa sakit. Sudah sejak siang tidak makan. Lambung terasa sangat perih. Ingin rasanya segera menutup netbook dan mengisi perut dengan nasi.

Akan tetapi, sesuatu tiba-tiba datang membisiki telinga saya, pelan, pelan sekali: "Kenapa ide ini tidak kau buat jadi sebuah buku?" Benar juga. Ide ini langka. Sayang sekali kalau hanya sebatas menjadi cerpen. Baiknya sekalian membuat buku saja. Ya, baiknya kujadikan buku saja; buku kumpulan cerpen!

Rasa lapar pun musnah. Perut tidak lagi terasa sakit. Dengan penuh semangat, saya rapikan cerpen itu dari kesalahan ketik, sembari membayangkan akan seperti apa buku yang masih dalam tahap rencana ini. Saya rela menunda makan demi tidak kehilangan ilham yang baru saja mampir.

Pada detik itulah saya melihat usaha menulis cerpen ini sebagai peletakan "batu" pertama dalam pembangunan "rumah" yang saya inginkan. Diam-diam saya bersyukur kami berlibur ke pantai. Sebab, boleh jadi ide yang didapat akan jauh berbeda dan tidak semenarik kakek tua pemikul sapu tadi, andaipun kami pergi ke gunung. Betapa tidak? Sebatang sapu itu memberi saya pelajaran, bahwa dari sapulah, seseorang bisa membuat sesuatu yang kotor menjadi bersih. Dengan sapulah, seseorang bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi lebih baik.

Tidaklah sulit untuk menentukan benang merah buku ini. Sebab, semua itu telah tersimpan di balik setiap paragraf dalam cerpen "Telanjang" yang baru saja selesai. Saya ingin menulis tentang sisi kelam Indonesia. Korupsi yang merajalela, keadilan yang diperjualbelikan, pendidikan dan layanan kesehatan yang seolah bukan untuk mereka yang tak mampu, serta masih banyak lagi kekacauan di negeri ini. Semua itu membuat semangat saya berkobar-kobar. Dengan cara inilah saya bisa menyuarakan keprihatinan saya atas segala persoalan itu.

Sore itu juga saya memberi deadline untuk diri sendiri, bahwa pada hari ulang tahun saya yang ke-22 (21 Juni 2013), buku itu sudah harus selesai. Itu artinya, saya hanya punya waktu tidak kurang dari 18 hari!

Ah, sepertinya tidak mungkin. Menulis buku dalam waktu sesingkat itu belum pernah saya lakukan. Dua buku saya yang telah terbit sebelumnya ditulis selama 40 hari. Walau keduanya ditulis secara bersamaan, setidaknya sudah ada persiapan sebelumnya. Ide-ide yang terserak telah lebih dulu saya catat. Nah, ini? Kali ini saya tidak memiliki persiapan apa-apa, selain hanya "sebongkah batu" yang saya pungut dalam perjalanan menuju pantai!

Jelaslah, dengan adanya deadline tadi, saya justru menciptakan tekanan untuk diri sendiri. Tapi anehnya, keadaan ini malah memancing saya untuk lebih kreatif mencari ide-ide baru, serta memuaskan hasrat untuk bereksperimen lewat tulisan. Saya sengaja membuang waktu istirahat dan "bersenang-senang" saya, lalu menggantikannya dengan hanya menulis saja. Jika teman-teman sedang berkumpul, saya asyik menulis. Jika teman-teman menonton film, saya masih menulis. Dan jika teman-teman tidur, kadang-kadang saya malah menulis.

Dalam sehari, saya jadwalkan minimal 3 jam waktu untuk menulis, atau bahkan lebih bila memungkinkan (dengan waktu yang terbagi, tidak sekaligus). Saya tidak menunggu kapan waktu terbaik untuk menulis (bagi sebagian penulis disebut dengan mood atau golden moment), karena jadwal menulis saya telah tertempel di meja belajar, dan saya tidak mau "mengkhianatinya". Saya bertekad bahwa dalam satu hari setidaknya harus menyelesaikan satu atau dua judul cerpen. Saya tidak tahu cerpen-cerpen seperti apa yang akan saya tulis nanti. Saya hanya meletakkan dalam kepala; gambar-gambar imajiner berisi penderitaan bangsa ini, sebagai benang merah dari buku yang akan saya tulis.

"Kalau kau ingin rumahmu cepat selesai, cari potongan-potongan batu berikutnya, agar pondasi, dinding, dan atapmu segera berdiri. Jangan bermalas-malasan!" bisik saya pada diri sendiri.

Metode "Rumah Batu"--sebutan dua analogi yang saya ciptakan sendiri tadi--kembali saya jalani. Berkali-kali kebuntuan saya alami, namun berkali-kali pula saya bangkit, karena waktu menuju tanggal 21 Juni 2013 semakin dekat. Dengan adanya tekanan dan motivasi hasil rekayasa otak saya sendiri itu, beruntung, segala hal yang saya lihat, dengar, dan pikirkan, bermetamorfosis menjadi bermacam ide cemerlang untuk disulap menjadi cerpen.

Perjalanan mencari ide salah satunya saya lakukan dengan mengakses berita dari televisi maupun internet. Tak jarang pula, ide-ide segar saya dapat ketika tengah asyik menonton film sebelum tidur. Dua hal di atas menyimpan banyak ide bagi siapa pun yang peka. Ada pula beberapa ide yang saya dapat lewat "perjumpaan tak terduga", seperti halnya perjumpaan saya dengan kakek tua pemikul sapu. Dan sisanya, beberapa ide didapat dari masa lalu saya sendiri.

Tantangan lain yang saya hadapi adalah dari datangnya ide-ide itu. Oleh karena ide datang semau-maunya sendiri, saya mempersiapkan diri sedapat mungkin agar ide-ide baru tidak lantas terabaikan. Maka, beginilah jadinya: jika dalam satu hari ada dua ide yang muncul, setidaknya saya harus mewujudkan salah satu atau bahkan dua-duanya dalam bentuk cerpen. Jika dalam satu hari ada lebih dari dua ide yang muncul, saya buat antrean sederhana untuk ide-ide itu (ide berikutnya ditulis di keesokan harinya). Dan jika dalam satu hari itu tidak ada ide sama sekali, saya akan menulis tanpa tahu apa yang akan saya tulis!

Yang terakhir mungkin aneh. Tapi begitulah adanya. Justru dari tidak adanya ide, sepanjang saya menulis bebas sesuai dengan apa yang saya bayangkan saat itu juga, malah dengan sendirinya ide datang di tengah proses. Dan alhamdulillah saya berhasil melakukannya sampai beberapa kali. Cerpen-cerpen yang diawali dengan "tanpa ide" itu adalah: "Sambal Terasi", "Manusia Setengah Pohon", "Dulu, di Balik Jendela Kamar", "Rutinitas", "Tahi Ayam", "Minus", "Marni & Marno", dan "Anjing-Anjing Kota".

Hari terakhir, 21 Juni 2013, menjadi hari terberat dari seluruh proses penulisan buku "Minus Menangis". Ide telah didapat sehari sebelumnya. Sayangnya, entah kenapa jemari ini rasanya sulit mengolah ide itu menjadi bagian terakhir dari atap "rumah" yang hampir selesai. Tak ayal, kepala ini pusing. Ditambah lagi suasana depan rumah kala itu tengah ramai. Bocah-bocah kecil asyik bermain, menimbulkan kegaduhan di pikiran saya. Berulang kali saya ucapkan dalam hati, bagaimanapun caranya, saya harus merampungkan cerpen terakhir sore itu juga.

Namun karena masih juga buntu, saya coba menghitung kembali berapa judul cerpen yang sudah saya hasilkan selama dua minggu itu. Ah, ternyata sudah 18 judul. Saya tak percaya. Dalam euforia tekanan yang saya buat sendiri, saya bisa mengatasinya. Belum pernah saya merasa "segila" ini dalam menulis. Itu artinya, judul kesembilan belas harus diperjuangkan. Godaan untuk berhenti saya buang jauh-jauh. Karena bagi saya ide terakhir dari cerpen penutup itu amatlah unik. Dan, setelah kembali bersusah payah, seperti halnya "Telanjang", cerpen berjudul "Lewat" pun selesai tepat pada tanggal 21 Juni 2013, pukul 16.20 WIB. Bersamaan dengan itu, selesai pulalah buku ini.

Tiada henti saya mengucap syukur. "Rumah" yang tadinya sebatas ada dalam angan, kini telah selesai. Bongkahan batu yang saya temukan dari berbagai penjuru, telah melengkapi seluruh bagiannya. Tinggal mengecatnya saja agar terlihat lebih indah.

Selama menulis "Minus Menangis" ini sendiri, saya sempat berhenti selama tiga hari. Bukan menyerah, tapi karena jadwal menulis yang saya tetapkan berbenturan dengan urusan pekerjaan. Saya masih ingat, berhentinya proses ini justru membuat saya makin "gila" dan ingin segera menyelesaikan buku ini. Bersyukur, dalam beberapa kesempatan, "kegilaan" itu membuat saya dapat dengan mudah menyelesaikan dua judul cerpen dalam satu hari. Bahkan pernah pula satu cerpen hampir jadi saya tulis, namun batal saya gunakan (saya hapus), gara-gara ada beberapa bagian yang entah kenapa membuat saya kurang suka membacanya.

Tak lama setelah rampung, saya kirimkan naskah ini ke salah satu penerbit konvensional. Kala itu saya beri judul "Minus Punya Cerita". Sayangnya, hanya dalam waktu 3-4 hari, langsung ditolak. Saya pun berpikir, "Oh, mungkin ada saatnya nasib baik menyapamu. Bukan sekarang, tapi suatu saat nanti."

Maka, saya putuskan untuk sementara menyimpan dulu naskah ini. Saya kembali "disibukkan" dengan jadwal menulis "rumah" baru, sebab "sebongkah batu" yang baru telah pula datang menghampiri. Namun karena terlalu asyik menulis naskah-naskah lain itulah, tanpa sadar saya telah mengabaikan naskah ini terlalu lama: 6 bulan!

Akhirnya, di penghujung Desember 2013, saya menyentuh kembali naskah ini. Saya edit setiap cerpennya, mengoreksi beberapa kesalahan ketik. Setelah membacanya berulang kali, dengan berbagai pertimbangan, judul buku ini pun saya ganti menjadi: "Minus Menangis".

Alhamdulillah, naskah ini kini benar-benar terbit menjadi sebuah buku, yang mengangkat berbagai sisi kelam di Indonesia dalam bentuk fiksi (kumpulan cerpen). Buku ini memuat delapan sisi kelam negeri ini (versi saya), di antaranya: tentang orang-orang yang dikhianati oleh keadaan ("Telanjang", "Timbangan", "Istimewa", "Dulu, di Balik Jendela Kamar), orang-orang yang menjadi gila tanpa mereka sadari ("Sambal Terasi", "Rutinitas", "Marni & Marno"), orang-orang yang menyerah pada takdir ("Wujud Lainku", "Manusia Setengah Pohon", "Lelaki Berwajah Luka"), orang-orang yang optimis meski pada akhirnya mereka kalah ("Manis", "Abnormal", "Lewat"), orang-orang yang terjebak dalam rumitnya sistem ("Aku Manusia", "Tahi Ayam"), orang-orang yang haus mengejar dunia ("Tamu-Tamu"), para koruptor/wakil rakyat yang culas ("Cermin & Tukang Sulap", "Anjing-Anjing Kota), juga segala kekacauan yang tiada berujung ("Minus").

Pemilihan judul "Minus Menangis" ini diilhami atas banyaknya persoalan bangsa yang membuat sebagian besar rakyat Indonesia menderita. Minus adalah salah satu tokoh dalam buku ini. Sedangkan Minus sendiri, tercipta sebagai gambaran utuh tentang manusia Indonesia yang hidup di tengah gemerlap dunia, sementara ia sendiri tidak berdaya oleh derita yang ibu pertiwi alami.

Saya berharap terbitnya "Minus Menangis" ini dapat menginspirasi kita semua untuk selalu bersikap benar. Memang, tidak ada yang sempurna. Akan tetapi, bukankah sebuah kebenaran itu bertumbuh dari hati yang bersih? Untuk itulah, sebuah kesadaran dalam "melihat" dan "mendengar" dengan hati, adalah tindakan terbaik untuk mengawali sebuah kebenaran, walau kecil sekalipun. Mari kita cintai negeri ini sepenuh hati, agar Minus tak lagi menangis.

Salam semangat berkarya!

Ken Hanggara

Pasuruan, 1 Maret 2014

*Keterangan foto: sampul buku kumpulan cerpen "Minus Menangis" terbitan FAM Publishing. Untuk pembelian buku, Anda bisa menghubungi nomor 0812 5982 1511 (Tim FAM Indonesia) via telepon atau SMS. Tulis jumlah eksemplar buku yang ingin Anda beli beserta nama dan alamat lengkap Anda. Harga per buku 42 ribu belum termasuk ongkos kirim. Tebal buku 195 halaman, dimensi 13 x 20 cm.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun