Mohon tunggu...
Ken Hanggara
Ken Hanggara Mohon Tunggu... -

Pemuda yang menyukai sastra dan seni. Tulisannya banyak yang berupa cerpen dan puisi, juga beberapa novel. Untuk menghubungi bisa melalui email: kenzohang@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apakah Menulis Fiksi Sama dengan "Berbohong"?

27 September 2014   13:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:18 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia fiksi, penulis bebas menulis apa yang ada di kepala. Fiksi adalah—ibaratnya—lukisan yang dibuat dengan gaya, yang boleh jadi terinspirasi dari kejadian nyata, atau boleh jadi dari imajinasi. Itu sah-sah saja, selama penulis tidak "mencuri" lukisan orang lain. Selama itu hasil jerih payah sendiri, tidak masalah, walau tulisan fiksi yang dihasilkan terlihat absurd bagi orang-orang yang menjunjung tinggi logika sekalipun.

Alasan"pembebasan" ini karena tulisan fiksi, apa pun bentuknya, merupakan seni yang tidak berbeda dengan patung atau lukisan dalam arti sesungguhnya. Tentu saja, seni mengandung nilai kejujuran, nasihat, etika, moral, kebebasan, sejarah, dan masih banyak lagi di dalamnya. Dari semua nilai itu, yang bisa disebut seni adalah yang mengandung nilai pemberi manfaat, sekurang-kurangnya bagi satu manusia lain di luar diri sang seniman.

Maka, saya heran ketika mendengar ada pendapat yang berbunyi: "Menulis fiksi sama dengan berbohong." Saya tidak tahu dari mana ide dasar pemikiran ini, atau diilhami atas kejadian yang bagaimana pendapat ini. Tapi tiap orang berhak berpendapat, walau sebuah pendapat tidak mungkin bisa diterima semua pihak. Selalu ada pro dan kontra. Tapi di sini, saya akan coba utarakan pendapat saya mengenai fiksi dan kejujuran di dalamnya.

Saya tidak menyinggung sejarah dimulainya tulisan fiksi atau mengutip contoh yang sudah ada—yang barangkali ditulis oleh penulis-penulis terdahulu. Sebab, selain pengetahuan saya terbatas, saya terhitung masih "hijau" dalam menekuni dunia fiksi. Maka saya beri contoh sederhana saja.

Alkisah, hiduplah seorang wartawan. Ia pencari berita para artis ibukota. Di satu tempat, suatu hari, ia melihat penyanyi A bertemu dengan presenter B. Diambillah foto kedua public figure tersebut dalam satu frame, lalu ditulislah beberapa coretan; coretan-coretan tentang pertemuan tak disengaja itu. Dari tulisan itu, seseorang bisa mengembangkannya seperti yang "bos"-nya sukai—tergantung situasi yang digemari masyarakat pecinta TV dan majalah, barangkali.

Tentu, tidak semua yang ditulis benar dan tidak semua yang diduga benar. Sebab, bukankah tiap orang merekam peristiwa di luar pengalaman dengan kapasitas berbeda? Tidak semua yang diketahui satu orang, diketahui pula oleh orang lain. Simpelnya, kita tidak tahu yang dilakukan oleh penyanyi dan presenter tersebut, tapi kita bisa menduga-duga sesuka hati apa yang sedang mereka lakukan, tanpa harus mencari tahu terlebih dulu.

Inilah gosip. Gosip datang dari prasangka yang lebih banyak kelirunya, membuat rugi orang lain dan tidak sedikit pun menguntungkan diri penggosip. Tapi, mungkin bagi wartawan dan bosnya yang ada di cerita saya ini, keuntungan yang diperoleh berupa uang. Gosip laris, duit mengalir, begitulah. Tidak, kita tidak sedang berpikiran buruk atau sedang membicarakan kejelekan orang, sebab kenyataannya berita-berita palsu semacam ini—dengan banyak tokoh dan konflik—sudah beredar luas sejak bertahun-tahun silam. Parahnya, itu disukai dan dipercaya oleh masyarakat.

Gosip tersampaikan pada mereka lewat dua cara: penglihatan dan pendengaran. Yang dilihat, bermula dari yang ditulis. Yang didengar, bermula dari yang dilihat. Maka, tulisan-tulisan berisi gosip yang belum tentu benar adalah sebuah kebohongan. Bolehkah saya menyebutnya begitu? Kalau begitu, berarti kita menyukai kebohongan?

Tunggu dulu. Kita, sebagai manusia waras, tentu tidak suka kebohongan, kecuali kalau kita jahat dan senang memanfaatkan situasi untuk menipu. Tidak, kita memang tidak menyukai kebohongan. Tepatnya, kita tidak tahu bahwa ada begitu besar potensi kebohongan dari berita-berita gosip yang kita baca/lihat/dengar tadi. Kita tidak sadar bahwa kita sedang disuguhi oleh kebohongan yang akan menjerumuskan kita pada dosa "berjamaah", karena barangkali lidah kita juga ikut menyebarkannya.

Saya bukan sedang mendiskreditkan profesi wartawan gosip. Tidak, sama sekali tidak. Mohon maaf sebelumnya. Saya juga percaya, dari sekian banyak wartawan itu, ada banyak dari mereka yang jujur dan memilih mengangkat sisi positif serta—terutama—kebenaran kabar soal si artis. Saya yakin ada banyak yang memilih jalan itu. Contoh di atas hanya sebagai gambaran saja, bahwa dari tulisan "bertopeng" fakta semacam itu, bahaya yang muncul jelas lebih besar ketimbang fiksi.

Kenapa tulisan "bertopeng" fakta lebih berbahaya ketimbang fiksi? Karena itu bukan produk seni, melainkan produk konsumsi. Jika diibaratkan barang di dalam rumah, karya fiksi adalah lukisan—seperti yang saya sebut di awal. Sementara, tulisan non-fiksi (berita, artikel, esai, dan sejenisnya) adalah isi kulkas.

Tentu kita tidak akan cemas dan tidak mungkin peduli, bila sebuah lukisan yang dipajang di dinding kamar kita dibuat dari cat dengan bahan beracun. Sebab kita tahu fungsi lukisan adalah untuk dilihat, diukur nilai seninya, serta diresapi secara batiniah. Kita membeli lukisan bukan untuk dijilat. Lain urusan kalau isi kulkas kita mengandung racun. Telur beracun, sayur beracun, susu beracun, dan berbagai jenis makanan lain terkontaminasi racun. Maka, dampak bagi tubuh kita sungguh gawat. Kita bisa mati karena tak tahu ada racun di dalam piring dan gelas. Sebab kita tidak mungkin mati kalau kita tahu itu racun—kecuali kita sudah (maaf) gila.

Dengan kata lain, kalau kita tahu lalu membaca tulisan fiksi—kisah rekayasa dengan tujuan seni dan penyampaian pesan moral—maka kita tidak akan "merasa dibodohi" karena terang-terangan penulisnya seperti bicara kepada kita: "Di atas rambut mertuamu ada kutu sebesar sepatu!" Padahal kita menghormati mertua kita, misalnya, sebab ia begitu penyayang. Kenapa kita tidak merasa bodoh? Sebab kita tahu ucapan itu bukan yang sebenarnya dan kita justru menikmati karena ia adalah seni.

Lain cerita kalau kita tahu ada tulisan non-fiksi—yang semestinya memuat fakta, ilmu, kenyataan, kebenaran, dan yang terpenting: kejujuran—tapi ia tidak membawa unsur-unsur tersebut. Sudah dapat dipastikan Anda tidak akan mau menyentuh untuk membacanya barang sekilas. Sebab, tanpa Anda membaca lebih dulu pun, dengan membaca judul sementara yang membuat Anda ingat fakta yang sebenarnya, Anda akan merasa sakit hati seolah penulisnya sedang berkata: "Di perutmu ada tahi lalat sebesar bola tenis!" Padahal kenyataannya hanya sebesar kelereng.

Maka, dari tulisan singkat ini, saya rasa akan mengherankan apabila masih ada yang berkata: "Menulis fiksi itu membohongi orang banyak, sebab tokoh di dalam novelmu itu tidak lebih dari khayalanmu semata."

Lha? Memangnya novel itu produk majalah gosip? Tidak, 'kan?

Pasuruan, 25 September 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun