Pajak rokok bukan hanya serta merta untuk menambah kekayaan negara, tetapi pemerintah membuat ketentuan itu untuk menekan angka perokok di Indonesia. Seperti yang didefinisikan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, pemerintah menetapkan pajak itu untuk membuat para perokok berhenti merokok setidaknya di tempat umum, seperti di jalan, di tempat pendidikan, di tempat kerja, dan lain-lain.
Namun apakah program kerja itu berhasil? Nyatanya dalam kurung 10 tahun, perokok di Indonesia meningkat sebanyak 8,8 juta orang di 2021, meskipun prevalensi perokok turun 0.2% itu tidak merubah banyak untuk angka perokok di Indonesia. Dari golongan anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga orang tua, perempuan atau laki-laki, sekarang semua sudah mulai merokok bahkan di tempat-tempat yang banyak perokok pasif seperti balita dan ibu-ibu yang nantinya akan menambah pasien perokok pasif di rumah sakit, secara tidak langsung pajak yang harus dihasilkan dari rokok itu sendiri juga harus semakin besar.
Pemerintah mendapatkan pajak rokok dari hasil penjualan rokok itu sendiri, berarti secara tidak langsung pemerintah meminta rakyatnya untuk terus membeli rokok untuk mendapatkan pajak rokok dengan jumlah yang banyak, ini tidak sejalan dengan program kerja pemerintah yang menginginkan untuk rakyatnya berhenti merokok. Sesuai dengan gambar yang sering kita temukan di bungkus rokok tentang bahaya merokok, para perokok ini juga akan mengalami hal yang sama bila mereka terus-terusan mengonsumsinya, sehingga uang yang didapat dari pajak rokok ini akan berputar pada lingkup itu saja. Dengan kata lain, pajak rokok yang dihasilkan dari mereka yang membeli rokok itu diperuntukkan mereka para perokok ini berobat akibat terlalu banyak mengonsumsi rokok.
Diingat juga tentang para anak anak dan perempuan muda yang sekarang juga sering terlihat mengonsumsi rokok, pemerintah perlu meluaskan pandangannya lagi untuk masalah ini, kenapa? Sebab bila anak-anak saja sudah mengonsumsi rokok sejak mereka kecil, serta para perempuan yang juga tidak kalah cepatnya menghabiskan satu bungkus rokok sehari seperti para lelaki, ini akan berdampak serius ke depannya, dan apakah uang hasil pajak rokok dari dapat menutupi masalah kesehatan yang dihasilkan dari para perokok ini sendiri? Jika memang uang itu akan dialokasikan untuk pembiayaan kesehatan.
Pemerintah harus membuat tebusan baru untuk mensukseskan program kerja mereka yang berpusat pada menurunkan angka perokok di Indonesia, terbukti dengan meskipun harga rokok naik akibat penambahan pajak itu sendiri, para perokok tidak berhenti untuk membeli rokok tersebut. Pemerintah bisa membuat tebusan baru beruba permen atau makanan ringan yang bisa menggantikan rokok namun tetap pada porsi yang aman untuk orang diabetes atau hipertensi, serta menarik untuk anak-anak dan perempuan yang sekarang sudah mulai berani mengonsumsi rokok. Atau pemerintah bisa memulai langkah mereka dari menyetop perokok anak-anak dan perempuan dengan diberikan pengertian kembali tentang bahaya merokok itu sendiri bagi kesehatan dan masa depan mereka, serta dengan memberikan rehabilitasi tersendiri untuk mereka agar bisa terlepas dari kecanduan merokok.
Pemerintah juga bisa untuk memulai eksport rokok ke luar negeri untuk mengurangi angka perokok dalam negeri, namun tetap mendapatkan uang pajak dari hasil penjualan eksport tadi, serta angka orang sakit atau meninggal akibat rokok juga bisa berkurang. Jadi uang yang didapat dari pajak rokok tersebut bisa dialokasikan untuk pengobatan lain seperti kanker, gagal ginjal, dan penyakit lainnya yang membutuhkan biaya ekstra.
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H