Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Oleh-oleh dari Luar Negeri untuk Pendidikan Karakter

12 April 2017   10:04 Diperbarui: 12 April 2017   10:25 1253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     Suatu pagi di bulan Maret  tahun 1999, aku berada di Sydney, ibukota negara bagian New South Wales, Australia. Kala itu, aku punya sisa waktu dua hari setelah tiga hari menyelesaikan tugas kantor, sebelum kembali ke Jakarta. Ini bukan hanya tugas pertamaku ke Australia, tapi merupakan tugas perdanaku ke luar negeri. Jadi, ini pengalaman pertamaku melihat negara lain, yang kebetulan negara yang sudah maju pula. 

     Berada di Australia, di tengah-tengah tugas yang ketat, tentu saja membuatku tidak sabar ingin mengetahui banyak hal mengenai Benua Kanguru yang kerap disebut sebagai "Negeri Barat di Timur" itu. 

     Pagi itu, cuaca cerah. Dari hotel tempatku menginap, aku berjalan kaki sendirian ke kawasan Circular Quay, pelabuhan ferry Sydney, yang jaraknya memang tak terlalu jauh. Lalu singgah di Opera House yang terkenal itu, yang letaknya masih di sekitar situ. Dari pelatarannya yang lapang, di tepi laut yang tenang, aku terpana menikmati pemandangan jembatan kuno Harbour Bridge yang megah di seberang gedung. Di sisi yang lain, panorama kota Sydney tampak menghampar di horizon, dengan gedung-gedung pencakar langitnya yang nyaris menyentuh awan. 

     Dari pelataran Opera House, aku lalu melangkah ke sisi kiri gedung, menyusuri Tamam Botani yang asri. Beberapa orang tampak duduk-duduk di taman, beralas rumput hijau yang terhampar bak permadani lembut. 

     Aku yang baru pertama kali melihat Australia, sungguh merasa berada di negeri yang benar-benar lain. Semuanya tampak bersih, tertib, teratur, dan tertata baik. Air laut di bawah dermaga pelabuhan ferry yang sibuk itu pun tampak bersih dan jernih. Tak ada sedikit pun sampah plastik atau bungkus makanan yang terapung. Burung-burung camar terbang dan hinggap silih berganti, menambah keasrian suasana pelabuhan, di awal musim gugur itu. Orang-orang hilir mudik. Sebagian duduk bersantai sambil bersantap di kedai-kedai mini di tepi pantai. Tak ada sampah, tak ada kesemrawutan. Gambaran negeri maju jelas terlihat dari sudut kota itu. 

Naik Kereta Ke Campbelltown

     Penasaran ingin melihat Australia lebih jauh, aku mencoba naik kereta dari Stasiun Pelabuhan menuju sebuah kota kecil yang entah di mana, namanya Campbelltown. Jaraknya sekitar 57 kilometer dari Sydney. Mungkin mirip Jakarta - Bogor. 

     Tak banyak penumpang di gerbong kereta yang kutumpangi, ketika perjalanan dimulai. Awalnya hanya menyusuri jalur bawah tanah. Tapi tak lama berselang, kereta pun sudah keluar dari tanah dan bergerak memasuki perdesaan Australia, lalu terhenti di sebuah stasiun kecil. 

     Suara riuh anak-anak terdengar di luar dan kemudian mereka menyeruak masuk ke dalam gerbong yang kunaiki. Mereka para pelajar, mungkin setingkat Sekolah Menengah Pertama, yang baru keluar sekolah dan hendak pulang. Seperti tingkah para remaja tanggung di negeri ini, mereka pun tampak ceria, bercanda sambil tertawa-tawa. Sebagian terlihat membuka makanan bawaan, ada juga yang sekadar mengulum permen.

     Mereka berada di depanku sehingga aku bisa melihat semuanya. Dan, apa yang mereka lakukan kemudian sungguh menarik perhatianku.

     Setelah anak-anak itu mengupas permen dan makanan kecilnya, mereka ternyata tidak begitu saja membuang sampah dari tangannya, sekecil apa pun sampah yang dipegangnya.

     Anak-anak itu berusaha mencari tempat sampah. Namun karena letaknya agak jauh di depan, mereka kemudian.. menyimpan kembali sampah-sampah itu ke dalam tasnya. Sebagian tampak memasukkan bungkus permen ke.. sakunya. Sampah yang tercecer ke lantai kereta pun mereka pungut kembali.

     Aku terpana. Ada yang menyentuh hati, bahkan serasa menohok perasaan. Seketika itu pula aku mendapatkan jawaban mengapa jalanan, taman, halaman gedung, dan semua tempat tampak bersih. Semua warga termasuk anak-anak ternyata sangat berdisiplin memperlakukan sampah.  

Teringat Sampah Jakarta

     Dalam perjalanan pulang ke Sydney dari Campbelltown, aku masih terus merenung. Pikiranku melayang ke Jakarta, mengingat kembali para penumpang angkutan umum yang membuang bungkus makanan asal saja, bahkan penumpang mobil pribadi yang sembarang melemparkan sampahnya ke jalanan. Aku membayangkan sampah-sampah yang berserak di tempat wisata, hingga ke perairan pantai Jakarta. Lalu, pikiranku malah melanglang ke kasus tawuran pelajar, narkoba, korupsi, radikalisme dan berbagai ”ketidaktertiban” lainnya di negeriku tercinta.

     Aku mendadak menganalisa bahwa keadaan sebuah bangsa, sebenarnya mungkin berawal dari karakter anak-anaknya, dari disiplin kecil yang tak pernah terbayangkan, yang baru saja kulihat. Langkah kecil inilah yang mungkin menjadi awal pembentukan karakter sebuah bangsa, yang telah membuat Australia, Jepang, Korea, Jerman, Perancis, atau yang lainnya, menjadi bangsa semaju sekarang. 

     Jika anak-anak sejak dini sudah berdisiplin menangani sampah, sangat mungkin mereka pun akan bijak menangani yang lainnya setelah dewasa. Mungkin mereka akan tahu bahwa korupsi itu tercela, sikap intoleran itu tidak adil, karena mereka mengerti bahwa sekadar membuang sampah sembarangan saja sudah merupakan kesalahan. 

     Akhirnya, pulang dari Sydney aku membawa oleh-oleh berharga, yang bukan hanya menjadi bahan ceritaku kepada keluarga, tapi sekaligus sebagai bahan pendidikan untuk anak-anak kami. Mereka harus diajari hidup tertib, teratur, dan kuncinya adalah disiplin. 

     Disiplin sederhana menangani sampah lalu kuajarkan kepada keponakan-keponakanku yang masih kecil, yang kebetulan aku asuh. Secara perlahan, pelajaran ini membuahkan hasil. Sejak usia 6 tahun, keponakan-keponakanku sudah bisa mengajari teman-temannya cara membuang sampah yang benar. Bukan hanya itu, jika menemukan uang di halaman, misalnya, mereka akan mencari siapa yang menjatuhkannya, sebab uang itu bukan miliknya. Ketertiban, keteraturan telah mengajarkan bahwa segala sesuatu harus diletakkan, atau dikembalikan pada tempatnya yang benar. Filosofinya berawal dari sana. 

     Kini keponakan-keponkanku sudah beranjak remaja. Pola pikir keteraturan yang tertanam dalam benaknya membuat karakternya begitu proporsional. Mereka terlihat supel, bisa menerima perbedaan, dan tidak memaksakan kehendak. Anakku lahir belakangan, dan aku tentu akan mengajarkan pendidikan yang sama untuk membangun karakternya. Pembentukan karakter sesungguhnya adalah inti dari seluruh pendidikan.

Mendukung Pendidikan Karakter 

     Sydney atau Australia tentu bukan kesempurnaan yang harus ditiru seluruhnya. Tapi sisi baiknya mungkin bisa jadi sebuah keniscayaan untuk dicontoh, di luar sisi buruknya –seandainya ada. Indonesia, setidaknya sampai hari ini, masih berjuang menjadi lebih baik. Harus diakui, bahwa sejumlah persoalan bangsa sebenarnya bermula dari soal karakter. 

     Lihat saja kasus korupsi yang konon sudah jadi budaya. Berdasarkan data Mahkamah Agung (MA), kasus rasuah itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, MA menerima 13.977 perkara korupsi. Dan, pada2016 jumlahnya meningkat menjadi 14.564 perkara  (cnnindonesia.com,29 Desember 2016). Yangmenyedihkan, pelaku korupsi itu justru penegak hukum sendiri.

     Di pihak lain, ancaman yang tak kalah berbahayanya adalah sikap intoleran, bahkan gerakan radikalisme yang berujung pada terorisme, yang eskalasinya juga memprihatinkan. Sikap-sikap intoleran dan anti perbedaan sesungguhnya sangat bertentangan dengan spirit budaya bangsa yang menjunjung keberagaman seperti tertuang dalam ungkapan leluhur, BhinnekaTunggal Ika. Karena itulah, persoalan karakter bangsa menjadi pekerjaan besar yang harus segera dituntaskan. 

     Syukurlah, pembenahan karakter kini menjadi prioritas pendidikan yang jadi komitmen pemerintah Presiden Joko Widodo. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kini telah mencanangkan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), untuk membangun budaya dan karakter baik anak-anak bangsa. Ada 18 nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang telah ditetapkan, antara lain Toleransi, dan Disiplin yang mengacu pada perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Juga ada karakter Semangat Kebangsaan dan Cinta Tanah Air yang mengacu pada cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompok. Program PPK telah diujicobakan di 542 sekolah pada 2016 lalu, dan tahun ini akan diterapkan di 9.830 sekolah. Targetnya, pada 2020, seluruh sekolah sudah menerapkan program PPK. 

     Program PPK perlu didukung seluruh masyarakat, dengan memulai penerapannya pada diri sendiri, di tiap keluarga Indonesia, dan kemudian bersama-sama menyukseskannya dalam gerakan formal di sekolah. Pendidikan dan kebudayaan bangsa yang luhur harus menjadi basis gerakan ini. Para guru atau pendidik yang terlibat dalam program besar ini betul-betul harus yang terpilih secara baik dan benar, karena karakter mereka akan jadi tauladan bagi para peserta didik.

     Program PPK harus menjadi gerakan revolusi karakter yang dilaksanakan bangsa ini secara konsisten. Perbaikan total terhadap karakter bangsa yang berbasis pada pendidikan dan kebudayaan itu sangat mendesak dilaksanakan, untukmencegah bangsa ini terjerumus pada ketidaktertiban yang makin membahayakan. *****

Endang Sukendar

esukendar@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun