Malam telah semakin larut. Bahkan merambat menyingsing fajar ketika kami masih asyek begadang ngobrol. Jam di handphone aku buka dan terlihat menunjukkan waktu 02.56 wib. Akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi obrolan dan pulang ke rumah masing-masing.
Kami saling berjabat tangan sebagai tanda perpisahan. Aku segera mengendarai sepeda motor yang terparkir. Did,,,. Aku membunyikan klakson sebagai salam terakhir kami berpisah. Dan,,,wush,,,wush,,,wush. Cepat saja sepeda motorku melaju karena waktu selarut itu lalu lintas di jalan raya sepi kendaraan.
Dalam perjalanan aku sudah membuat ancaman. Ancaman untuk istriku yang tadi siang kuketahui kalau sudah selesai hari berhalangannya. Tunggu sebentar lagiakan kulaksanakan perintah amal ibadah kepadamu istriku. Penantian panjang selama kurang lebih satu pekan telah berakhir. Hasrat membara yang memenuhi dada sebentar lagi akan mendapatkan muara berlabuh. Terbayang apa-apa yang akan kulakukan setelah sampai di rumah nanti. Sepak terjang dan segala motif gaya. Waktu yang amat tepat karena anak-anak tentunya masih sangat terlelap dalam tidurnya sehingga tidak mungkin terganggu goncangan, getaran dan hentakan-hentakan wilayah di sekitarnya.
Sampai di depan rumah aku parkir sepeda motor. Dan ketika hendak membuka pintu rumah terdengar suara menyapa di kegelapan malam itu. Aku menoleh dan kulihat bapak Mustaqim ustadz musholla belakang rumah sedang berjalan menuju ke arahku sambil melemparkan kata sapa kepadaku. Aku terpaku di depan pintu rumah namun tetap menjawab pertanyaan-pertanyaannya demi menjaga kesopanan di sapa orang yang lebih tua ustadz lagi. Kulirik lelaki setengah baya yang memakai sarung berkemeja putih berpeci dan sedang membawa kitab suci al-quran di tangannya. Setelah mendekat dia meletakkan pantatnya duduk di bangku depan rumah. Dia baru saja sedang mengaji baca al-quran sambil menunggu waktu subuh ketika tiba-tiba dia mendengar suara mesin sepeda motorku berhenti dan sekedar ingin menyapaku yang baru pulang bepergian.
Namun tidak sekedar menyapa dia sepertinya memberikan pancingan ngobrol denganku dengan duduk bersantai di bangku rumahku sambil menunggu waktu subuh. Aku masih saja berdiri di depan pintu. Perasaan menggugat mulai menjalar. Rencanaku untuk bertempur jadi berantakan. Alamat batal kelihatannya padahal nafsu sudah di ubun-ubun kepala. Hadewwhhhhh. Mau mengusirnya rasanya sangat tidak sopan, tapi kalau nggak pergi bisa tambah dongkol hati ini karena pertempuran yang tertunda lagi. Hufffffff.
Di kegelapan yang aku rasa pak ustadz tak terlalu jelas melihat ekspresi wajahku aku sedikit menegadah dan mata menatap langit yang sedikit berbintang sambil berdo’a “yaa Allah,,,gerakkan hati pak ustadz ini untuk segera berpamitan pulang karena waktu bertamunya kurang tepat,,,aku sudah gak tahan yaa Allah”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H