Langit mulai terang ketika pagi datang, jalanan lengang hanya berapa ibu ibu sedang mengelilingi tukang sayur di bumbui rumpian khas mereka. Seperti biasa selalu ada bahan omongan setiap aku pulang dari mencari nafkah, ada saja yang bisa mereka bicarakan. Mulai dari pakaian, riasan , bahkan cara jalankupun tidak luput dari perhatian mereka. Tapi yang paling sakit saat mendengar mereka berbicara yang tidak mereka mengerti,
” Sssstt, balon moleh tekan lokalisasi, awas yuu Jemb, bojomu katut karo arek iku” yuu jemb berbisik pada sebelahnya yang langsung ditimpali dengan semangat oleh mba bawuk “dasar balon dolly seng wes ga payu, sak iki pindah nang Splindid”
Sungguh percakapan yang membuat aku selalu ingin menampar mereka atas omongan yang didasarkan atas pikiran mereka sendiri yang diombang-ambingkan kenyataan bahwa, harga kehormatan perempuan untuk zaman sekarang sudah kalah bersaing dengan harga satu kilo beras. Percakapan mereka memberi satu kekayaan yang tidak ternilai pada wanita sepertiku, di mana lelaki tidak memilikinya. Yaitu, kesabaran dan ketabahan. Oleh sebab itu mengapa Tuhan berfirman, Surga itu ada di telapak kaki ibu, bukan di telapak kaki bapak. Mereka tidak pernah percaya aku bisa menghidupi kedua buah hatiku tanpa menjual selangkangan. Aku masih bisa mempertahankan kehormatanku untuk memperoleh kebahagiaan dengan berjuang, bukan dengan cara mengemis minta belas kasihan, rendah diri, dan pasrah terhadap nasib.
“Tiaaaa bangun sayang, lets goooo...... kamu harus sekolah, sudah siang sayang...” seperti biasanya anak sulungku selalu susah untuk bangun pagi. “ Ayooo sayaaaang.... udah waktunya sekolah...... mau kamu jadi orag bodoh kalau tidak sekolah???” Dan itu menjadi senjata yang aku selalu ucapkan untuk anakku, selalu aku tanamkan bahwa untuk menggapai masa depan harus menjadi orang yang pandai, kepandaian hanya dapat di sekolah. Begitu ucapanku saban pagi yang tidak pernah aku bosan sampaikan kepada anaku sulungku. membangun kota dan pertahanannya dari beton dan batu karang, membangun masa depan dengan ilmu dan pengetahuan itu menjadi alasan mengapa aku selalu mengharuskan anaku sekolah, walau aku sadar bahwa gelar saja tidak cukup untuk memperoleh masa depan yang baik.
Hidupku memang terdiri dari banyak kisah, tapi semua kisah aku yang membuatnya dan sekarang aku sedang menjalani satu episode kehidupan tanpa ayah dari anak anakku. Dia pergi untuk mengejar mimpi kami untuk memperbaiki perekonomian keluarga kami. Padahal yang aku pahami, keinginan itu tidak ada batasnya, kalau saja kami bisa bersyukur atas nikmat yang selama sudah ada tentu dia tidak akan meninggalkan kami untuk mengejar mimpi itu. Awalnya aku percaya akan niat dia untuk memperbaiki kehidupan kami, tapi setelah sekian bulan dia pergi dan tidak ada hasil, jangankan hasil, kabarpun tidak ada.
“ Dee Araaa, bangun sayang, kamu ngompol lagi dee???”. Tiara, nama anakku yang kecil, yang masih percaya ayahnya pergi bekerja untuk mencari kehidupan yang lebih baik buat kami. "Manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhan jualah yang menentukan," dan mungkin pepatah lama itu berlaku terhadap ayah dari anak anakku, dia berencana merubah kehidupan kami tapi malah tergoda oleh perempuan lain.
"Itulah yang aku pikirkan sekarang,," aku terisak.
"Dengan menangis, kita tidak akan bisa menemukan jalan keluarnya, Nat."
"Lantas apa yang mesti aku lakukan?"
"Berfikirlah semaumu, seperti dulu kamu lakukan! Berusahalah agar anak anakmu tetap bisa makan. Carilah hal-hal yang bisa menghasikan Uang, Kenapa mesti pusing hanya karena kamu perempuan? Sekarang kan sudah biasalah perempuan kerja malam. Kedua tangan, kedua kaki, seluruh anggota tubuhmu, masih lengkap dan berfungsi Nat." Pergolakan batin yang selalu aku rasakan ketika perekonomian keluargaku ambruk.
“lihat nak di depan cahaya lampu berkelipan menanti kita, aku berjanji akan antar kalian kesana, meski jalannya berkelok dan mendaki tetaplah pegang tangan mama.” Selalu kata kata itu yang aku lekatkan dalam hati dan tekadku. belum juga kupahami di sini waktu terus berlari atau justru berhenti, tapi mengapa semua seperti tak peduli terus berkejaran dengan apa entah dengan siapa atau bahkan aku tidak pernah beranjak dari waktu, hanya menyisakan gelisah dan takutku yang kemudian menjelma menjadi duri nyeri di kenyataan, seperti berlari berpacu dengan waktu bersama tanpa jejak, tak bermakna seperti berlarian tanpa arah.Tapi aku harus kuat untuk mewujudkan janji pada anak anakku. Aku ingin seperti sungai yang mengalir ke samudra dan ombak yang menjemput di muara seperti cinta pada anak anakku yang tak pernah alpa dalam ketulusan yang tak terputus oleh musim.
Aku hanya dermaga kecil yang tak pernah bisa menolak setiap perahu yang akan menambatkan tali disini, tapi aku bisa memilih dan berhak memilih. Bukan hanya satu perahu yang mau menambatkan tali disini. Tapi cukup sudah pelajaran yang di berikan ayah dari anak anakku, kepasrahan tidak akan pernah membuat aku bisa berdiri sendiri, aku akan kuat dan mampu membawa semua ini menjadi lebih baik tanpa dia yang tidak pernah berarti apa apa.
Mungkin itu maksud orangtuaku memberi nama Kartini Natalia, wanita yang mampu berdiri sendiri tanpa laki laki, tapi seperti mengarungi samudra waktu tak bertepi membuatku gelisah, aku dalam perahu nasib gelap dan rahasia, aku tak tahu mengapa sampai di sini terlunta sendirian tapi bukan itu yang aku inginkan, semua hanya keadaan yang memaksaku. Kalau mau jujur aku masih berharap ada yang mendampingiku melewati kehidupan ini bersama anak anak. Dan aku selalu teringat Ken.
**********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H