Presiden Amerika Serikat Donald Trump berencana mencabut perlakuan khusus terhadap Indonesia di bidang  perdagangan. Langkah Trump ini bisa memulai perang dagang AS-RI? Lalu apa keuntungan Amerika Serikat?
Menurut catatan US International Trade Commission, nilai import dari Indonesia sebesar US $ 19,6 milyar, nilai tersebut setara 4,1 % import dari China. Namun bagi indonesia akan terasa dampaknya, baik secara ekonomi dan politik.
Secara ekonomi, rupiah hari ini menguat tipis 22 basis point berada pada level Rp.14.409, perang dagang akan menjadi sentimen negatif yang makin memperlemah rupiah. Imbasnya, akan terjadi peningkatan  inflasi yang berpengaruh kepada daya beli masyarakat umumnya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku akan melakukan lobi  dengan pemerintah Amerika Serikat (AS) terkait sinyal perang dagang yang  dikemukakan oleh Presiden AS Donald Trump.
Namun secara politik menjadi sinyal memburuknya hubungan kedua negara yang akan mempengaruhi iklim investasi di Indonesia yang menempatkan posisi tawar Indonesia melemah. Seperti Freeport misalnya, tarik ulur terjadi karena Indonesia tak bersikap tegas. Tekanan politik Amerika serikat melalui penghapusan kekhususan perdagangan ini kemungkinan akan diikuti oleh permintaan konsesi kekayaan alam.Â
Selain Freeport, masih ada Newmont, perusahaan asal Colorado, Â Amerika, yang mengelola beberapa tambang emas dan tembaga di kawasan NTT Â dan NTB. Tahun lalu, setoran perusahaan ke pemerintah mencapai Rp 689 Â miliar, sudah mencakup semua pajak, dari keuntungan total mereka.
Jika  dari NTT saja, pada 2012 pendapatan Newmont mencapai USD 4,17 juta. Belum lagi sederet operator migas yang rata-rata kelas kakap sebagai  mitra pemerintah mengelola blok migas. Chevron, memiliki jatah menggarap  tiga blok, dan memproduksi 35 persen migas Indonesia.
Belakangan ini China sangat aktif menguasai sumber tambang di Indonesia, salah satu investasi besar mereka di Tanah Air adalah bidang batu bara, selain itu  seperti nikel dan bauksit juga diincar  perusahaan-perusahaan China. Perusahaan tambang skala menengah dan besar China bergerak di seluruh  wilayah. Mulai dari Pacitan, Jawa Timur, sampai Pulau Kabaena, Sulawesi  Tenggara. Salah satu perusahaan besar adalah PT Heng Fung Mining  Indonesia yang berinvestasi di bidang nikel, di Halmahera, Maluku,  dengan target produksi bisa mencapai 200 juta ton.
China juga merambah sumber minyak Indonesia bersaing dengan Amerika Serikat. PetroChina, perusahaan migas pelat merah China  mengelola beberapa  blok. Salah satu yang  tersorot belum lama berselang adalah 14 blok di Kabupaten  Tanjung Jabung Timur, yang disegel pemerintah setempat karena persoalan  CSR.
Belum lepas dari ingatan kasus yang menimpa Chevron,  kasus bermula saat  Chevron Pasific Indonesia ( CPI ) wajib melakukan pemuliaan lahan (bioremediasi) di  lokasi penambangan di Riau pada tahun 2000-an. PCI dengan tanggung  jawab melakukannya sesuai dengan aturan yang berlaku. Proyek ini  dilakukan oleh PT Green Planet Indonesia (GPI), dengan direktur Ricksy  Prematuri.
Belakangan, kejaksaan menilai sebaliknya dan menilai  ada penyimpangan. Kejaksaan Agung lalu mengusut kasus itu dan menuding  PCI melakukan rekayasa bioremediasi dan mendakwa sejumlah orang di kasus  itu dengan kasus korupsi. Akhirnya Mahkamah Agung ( MA)  di tingakat PK menganulir putusan sebelumnya dan menyatakan bukan tindakan korupsi.Â
Kasus yang menimpa perusahaan Amerika ini bisa jadi membuat Amerika merasa gerah terlebih belakangan terlihat hubungan yang mesra antara Indonesia dan China yang menjadi pesaing Amerika Serikat menguasai kekayaan alam Indonesia.Â
Jika kita tengok perjalanan hubungan dengan China, kedekatan Bung Karno dengan China telah menimbulkan spekulasi ketidak sukaan Amerika Serikat, banyak peneliti dalam bukunya yang mengindikasikan keterlibatan CIA dalam pergolakan politik tahun 1965 di Indonesia yang berujung pergantian kekuasaan dan putusnya hubungan diplomatik dengan China.
Bukan hanya sampai disitu, larangan pengembangan ajaran komunisme diberlakukan melalui TAP MPR yang belum dicabut hingga saat ini. Bahkan pemerintah era orde baru melakukan kontrol terhadap warga keturunan China, walaupun begitu Suharto memberi kesempatan kepada warga keturunan China sehingga membentuk konglomerasi.
Suharto seperti menjadi anak emas Amerika Serikat ini menjadikan komunis, faham yang menjadi seteru liberalisme yang dianut Amerika sebagai bahaya laten. Namun, seiring dengan usainya perang dingin, berbagai sangsi diberikan kepada Indonesia seperti embargo suku cadang peralatan militer yang merontokkan kekuatan militer Indonesia. Indonesia tidak dibutuhkan lagi sebagai garda depan pembendung komunis di kawasam Asia Tenggra.Â
Menyusul embargo senjata  terjadi gejolak ekonomi di kawasan Asia pasific yang berujung krisis ekonomi di Indonesia dan pergantian kekuasaan. Reformasi politik di Indonesia juga merubah garis politik  yang ditandai dengan normalisasi hubungan diplomatik dengan China serta pengadaan senjata  dari Rusia sehingga Indonesia tak sepenuhnya bergantung kepada Amerika Serikat.
Hubungan dengan China makin mesra pada era Jokowi yang menyisihkan Jepang dalam proyek mercusuar kereta cepat. Begitu juga pendanaan proyek infrastruktur dari china menjadi jargon politik keberhasilan. Opini publik yang terbentuk sedemikian rupa mungkin telah mengkhawatirkan pemerintah Amerika Serikat mengingat investasi yang ditanamkan di Indonesia, bukan karena fahamnya.
Amerika Serikatpun memberi warning akan mencabut kekhususan perdagangan dengan Indonesia. Bagi Amerika Serikat, nilai ekport Indonesia tergolong kecil menjadi alat penekan yang arahnya mungkin saja terkait dengan perlindungan investasinya yang terancam oleh ekspansi China di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H