Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membeli SBN, Pandangan Nasionalisme dan Investasi

11 Mei 2018   20:18 Diperbarui: 11 Mei 2018   21:24 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber ilustrasi: kompas.com)

Surat Berharga Negara (SBN) ritel bisa dibeli secara online pada akhir Mei 2018. Pemasaran SBN ritel online ini juga melibatkan financial technology (fintech) yang sudah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mengutip laman Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko  Kementerian Keuangan, tingkat bunga atau kupon SBR002 sebesar 7,50% yang  berlaku untuk pembayaran kupon periode 21 Februari 2018 s.d. 20 Mei  2018.

Dengan demikian, jika membeli SBN Rp 10 juta, maka investor akan  mendapatkan keuntungan sebesar 7,5% per tahun dari dana yang  diinvestasikan tersebut. Artinya, keuntungan yang didapatkan sebesar Rp  750.000 setiap tahunnya selama dua tahun, totalnya Rp 1,5 juta. Kupon  sebesar 7,5% dibayarkan setiap bulan, artinya sebesar Rp 62.500 dikirim  ke pemegang SBN setiap bulannya. Setelah tenor habis, maka pemegang SBN  akan mendapatkan Rp 10 juta miliknya.

Dari sudut pandang nasionalisme, investasi tersebut dapat mengamankan ekonomi bangsa ini secara umum dari pada harus mencari hutangan ke luar negeri yang menghadapi fluktuasi nilai tukar. 

Sebaliknya, dari sudut investasi, uang yang ditanamkan Rp. 10 juta tersebut akan memperoleh keuantungan Rp 62.500 atau setara 5 kq beras kwalitas premium atau setara 3 bungkus rokok per bulannya.

Berbicara nasionalisme mestinya pemangku jabatan harus memberikan contoh sikap nasionalismenya, setidak tidaknya tidak melakukan perbuatan korupsi atau penyalah gunaan jabatan dan wewenang.

Persoalannya, moral sebagian pemangku kekuasaan "merasa" bersih sehingga apa yang dilakukan mungkin saja tidak disadari perbuatannya merupakan penghianatan kepada bangsa, tersadar ketika dirinya terkena OTT.  Seringnya KPK melakukan OTT ini menjadi indikasi bahwa korupsi dipandang bukan perbuatan penghianatan sehingga sulit menembus lingkaran "kong kalikong" seperti halnya kasus korupsi E-KTP.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati nampaknya masih terpukul dengan  prilaku anak buahnya yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaimana tidak, saat sedang  membangun kepercayaan serta membuat instansi yang dipimpinnya kredibel,  Kementerian Keuangan harus tercoreng karena kasus suap.

Sri Mulyani menilai peristiwa itu adalah pengkhianatan, dan pengkhianatan bisa datang dari dalam instansi. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang berjumlah ratusan juta rupiah dari pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam OTT yang mencokok pejabat tersebut bersama anggota DPR dan beberapa orang lainya.

Memutar kembali rekaman sejarah tentang perjuangan rakyat Aceh di awal kemerdekaan Indonesia. Pada medio 1948, Presiden Indonesia Sukarno terbang ke Tanah Rencong meminta rakyatnya ikut membantu perjuangan yang terdesak agresi militer Belanda.Kehadiran Bung Karno ke Aceh pada Juni 1948 untuk berbicara dengan rakyat Aceh di Kutaradja (Banda Aceh), Sigli, dan Bireueun.

Bung Karno mengakui Aceh punya daya tarik dan menyimpan kekuatan batin yang teramat dahsyat, khususnya mengadapi kolonialisme Belanda sebagai seteru.

Ajakan Bung Karno tersebut disambut oleh rakyat Aceh yang secara sukarela mengumpulkan sumbangan untuk membeli pesawat dalam menghadapi blokade politik kolonialis yang mengepung NKRI yang baru berdiri. 

Menjelang usia kemerdekaan yang mendekati usia 72 tahun, generasi penjuang kemerdekaan sudah berganti dengan generasi reformasi sayangnya musuh yang harus dihadapi bukan kolonialis bangsa asing namun nafsu korupsi dan kekuasaan yang digapai dengan berbagai cara.

Tak urung beberapa calon kontestan Pilkada terkena OTT KPK. Lagi lagi kita dipertontonkan sebuah mental tak bersalah sebelum ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap sebagai hukum berlaku azas praduga tak bersalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun