Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menelaah "Prestasi" Pembangunan Jokowi

4 Mei 2018   20:09 Diperbarui: 4 Mei 2018   20:22 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(INDRA AKUNTONO/KOMPAS.com)

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengungkapkan, rata-rata tarif tol saat ini sebesar Rp 1.300 per km. Sedangkan tarif tol pada tahun 1989-2000 berkisar Rp 200-400 per km. Tingginya kenaikan tarif ini dikarenakan nilai tukar rupiah dan adanya inflasi tiap tahun. Nilai tukar memengaruhi biaya konstruksi jalan tol. Mengapa dipengaruhi nilai tukar rupiah?

Berbeda dengan jalan negara yang tidak bertariff alias gratis, pembangunan ini dicover oleh peningkatan pendapatan negara oleh manfaat adanya jalan negara tersebut. Terlampau tehnis untuk berhitung, namun gambaran umumnya adanya jalan tersebut mempermudah akses distribusi dalam geliat ekonomi yang menciptakan peningkatan penghasilan masyarakat sebagai objek pajak.

Jalan tol atau pengadaan kereta cepat yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri dalam bentuk valas adalah murni bisnis yang pengembaliannya berdasarkan tariff yang digunakan. Namun karena bisnis ini menyangkut masyarakat luas, pemerintah ikut melakukan intervensi pada pengenaan tarif sebagai sumber pengembalian investasi.

Penjaminan pinjaman semacam ini digaransi oleh bank pemerintah, pengenaan bunga oleh negara peminjam umumnya memakai standar LIBOR ( London Imterchange Bank Of Rate ) dan oleh bank garantor, debitur dikenakan tambahan bunga sebagai penghasilan bank garantor. Jika terjadi kemacetan, bank garantor inilah yang menalangi. 

Dalam peristiwa krisis ekonomi tahun 1998, pemeritah mengambll alih seluruh kredit macet pinjaman semacam ini dengan mewrite off semua kredit macet untuk menjaga kecukupan CAR dan mengalihkan menjadi beban APBN. 

Itulah latar belakang sebagaimana disampaikan oleh menteri PUPR dimana penetapan tarif dipengaruhi oleh nilai tukar. Seperti dijelaskan diatas, pinjaman dalam bentuk valas sedangkan penghasilan untuk pengembalian dalam bentuk mata uang rupiah. Sehingga jika terjadi penguatan valas seperti belakangan terjadi akan dengan sendirinya menggelembungkan utang yang harus dibayar.

Indonesia Pasar Potensial Negara Industri

Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar ke 4 dunia dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa menjadi pasar potensial dari negara negara industri untuk pasar produk tehnologi dan industrinya. Pinjaman untuk pengadaan barang modal bukan hanya dilakukan oleh China namun juga oleh negara industri lainnya seperti jepang.

Kekurang fahaman masyarakat tentang pinjaman ini yang pada dasarnya lebih cenderung komersial sifatnya ini dalam kepentingan politik bisa saja investasi komersial ini dijadikan sebuah keberhasilan pembangunan sehingga tidak ada reaksi penetangan terhadap tarif yang dikenakan kepada pengguna. 

Tak jauh berbeda dengan pembangkit tenaga listrik dimana dilakukan pemasaran dengan bekerjasama dengan PLN karena perusahaan pelat merah imi memiliki jaringan distribusi. Tarif yang dikenakan kepada masyarakat tak lepas dari harga  jual yang ditetapkan oleh investor pembangkit tenaga listrik yang dibiayai juga dari pinjaman.Banyak kalangan yang menilai tarif listrik di Indonesia terbilang mahal dibandingkan negara-negara tetangga. Benarkah demikian?

Menurut data yang dirilis Kementerian ESDM  per Januari 2017 tarif listrik untuk rumah tangga  di Indonesia sebesar Rp 1.467/kWh. Tarif listrik tersebut memang lebih  mahal ketimbang Malaysia yang mematok tarif pelanggan rumah tangga  sebesar Rp 1.374/kWh, Thailand Rp 1.351/kWh, dan Vietnam Rp 1.279/kWh.

Politisasi Bisnis?

Dalam dunia medsos, kita sering memperoleh gambaran bahwa pembangunan jalan Tol atau kereta Cepat tak ada pada era pemerintahan sebelumnya sebagai gambaran perbandingan pemerintahan saat ini lebih berhasil dalam pembangunan. Kalau dilihat dari latar belakangnya, pembangunan tersesebut lebih bersifat bisnis dalam pelemparan produk dan jasa dari negara peminjam.

Dalam arti kata lain, target pasar dari produk tersebut tak lain adalah rakyat Indonesia. Dalam hal ini, penghapusan subsidy pada dasarnya menjadikan investasi tersebut dibayar oleh rakyat pengguna jasa. Namun, investasi tersebut dinilai dapat berpengaruh kepada kemajuan ekonomi  dalam hitungan matematis diatas kertas.  Apakah benar demikian?

Kembali kepada nilai tukar rupiah yang terjadi kecenderungan mengalami depresiasi pada saat pencairan pinjaman, nanti pada saat jatuh tempo pembayaran akan menjad faktor penekan rupian. Jika nilai tukar terus mengalami depresiasi, mau tidak mau tariff harus disesuaikan atau pemerintah memberikan subsidy agar dari hasil tariff itu dapat mengembalikan pinjaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun