Rupiah justru mengalami depresiasi, indikatornya bisa dilihat kalau data belanja pinjaman digunakan untuk belanja dalam negeri dapat diketahui. Kalau pinjman itu sebagian besar untuk belanja  di negara peminjam, maka pencairan itu tidak menjadi faktor penguat rupiah.Â
Lalu kita melihat neraca perdaganganya, jika pencairan pinjaman tersebut untuk belanja di negara peminjam, maka pencairan tersebut menjadi salah satu faktor penyumbang defisit perdagangan secara umum.Â
Jika diasumsikan kurs pada level Rp. 14.000 adalah sebagai basis proyeksi nilai rupiah, maka dengan adanya pinjaman barang modal seperti halnya pinjaman dari China itu, pada saat jatuh tempo akan terjadi pengurasan valas yang menekan rupiah.
Diperkirakan rupiah akan terdepresiasi lagi pada saat utang jatuh tempo. Ini hanyalah satu faktor yang mempengaruhi rupiah, namun kita lebih sering mendengar karena alasan ekonomi global.Â
Mungkin faktor penguatnya adalah investasi tersebut meningkatan produktivitas barang eksport, namun juga faktor persaingan perdagangan juga akan mempengaruhi tingkat produktivitas. Kita sering berpandangan bahwa depresiasi rupiah memperkuat daya saing perdagangan, tapi negeri pesaing indonesia juga mengalami depresiasi mata uangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H