Pilpres 2019 makin mendekat,  para peramal politik mulai membuat  ramalan namun terlihat ramalan mana yang berbau promosi dan ramalan mana  yang netral. Kalau Projo, ramalanya Prabowo Subianto tidak memperoleh  tiket nyapres, tergerus oleh ramalan poros ke tiga yang menjagokan AHY.  Artinya, Jokowi akan berhadapan dengan AHY yang dinilai mudah dikalahkan  oleh Jokowi.Â
Waketum Gerindra Fadli Zon membenarkan kabar mengenai letter of agreement atau kesepakatan tertulis antara Gerindra dan PKS untuk posisi cawapres  Prabowo Subianto. Cawapres Prabowo haruslah tokoh usulan PKS, pada  pilpres 2014 cawapres Prabowo berasal dari PAN.
Pertanyaanya, apakah  koalisi Gerindra,PAN dan PKS tetap solid? Amien Rais menyebut  ketiga partai ini partai Allah, ucapanya langsung menuai reaksi dan  menjadi polemik. Jika melihat pilkada DKI sebagai barometer, besar  kemungkinan  Prabowo akan berpasangan dengan Anies Baswedan.
Joko Widodo dan Prabowo Subianto telah menyatakan siap untuk maju di Pilpres 2019. Kedua tokoh ini sebelumnya pernah beradu untuk posisi yang sama dalam Pilpres 2014. Namun, saat itu Prabowo harus mengakui kemenangan Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla. Kini, kemungkinan mereka kembali akan beradu di pemilihan yang sama. Kemudian muncul pertanyaan,kalaulah  Anies  Baswedan  mendampingi  Prabowo,  lalu siapa  yang  mendampingi  Jokowi?
Belakangan muncul wacana poros ketiga, jika PAN, Demokrat, dan PKB bersatu, ambang batas syarat dukungan partai  untuk mengusung capres, yang besarnya 20 persen dari hasil Pemilu 2014,  bisa terpenuhi. Sebab, Partai Demokrat meraih 12.728.913 suara atau  10,19 persen.
PKB dengan perolehan 11.298.957 suara atau 9,04 dan PAN  meraih 9.481.621 suara atau 7,57 persen. Dengan komposisi tersebut, tentu saja poros tersebut bisa masuk  gelanggang pilpres, bersaing dengan poros pendukung Jokowi dan poros  yang dibangun Gerindra dengan PKS, yang kemungkinan besar bakal  mengusung Prabowo kembali.
Namun banyak yang menilai wacana poros ketiga hanyalah teatrikal politik untuk memperoleh bargaining politik dari kedua tokoh kuat yang diperkirakan akan berlaga pada pilpres mendatang. Meski masih menunggu, PKB punya kecenderungan merapat ke Jokowi, sekalipun pernyataan dukungan itu belum resmi terlontar.
Belakangan, Cak Imin memang begitu gencar mempromosikan diri ingin maju  sebagai cawapres. Sejumlah baliho maupun spanduk bertebaran di Jawa  Timur hingga Jakarta, di hadapan pemimpin redaksi media  massa, Cak Imin mendeklarasikan diri menjadi cawapres.
Ramal meramal capres dan cawapres memang cukup menarik, pagi pagi  Partai Demokrat sudah bermanuver bersedia berkoalisi dengan Gerindra dengan syarat agar Prabowo tidak nyapres sesuai permintaan arus bawah.  Padahal, jika kita lihat pada kenyataanya, pilihan langsung presiden ditentukan oleh Parpol.  Lalu kita bertanya, apakah pimpinan Parpol mendengarkan suara rakyat?
Seperti yang terjadi dalam berbagai kasus korupsi yang ditangani KPK yang melibatkan petinggi parpol dan wakil rakyat tentu perbuatan itu bukanlah keinginan rakyat. Rakyat seolah hanya dibutuhkan untuk mengisi pos pos kekuasaan setelah itu lebih pada kepentingan politik masing masing. Sayang sekali, korupsi menjadi lumrah dengan alasan biaya politik itu mahal pemerintah meminta dispensasi KPK dalam perebutan kedudukan politik.
Siapapun presiden terpilih nantinya, masih mengahadapi masalah  korupsi karena karena sudah bukan menjadi rahasia, biaya politik menjadi sebuah investasi yang harus kembali. Inilah hasil sebuah reformasi politik di negeri ini setelah lama dibawah pemerintahan otoriter yang sesungguhnya tidak membutuh biaya politik yang besar namun berkembang politik kroni. Namun tak pula terelakan muncul politik dinasty yang kuat dalam segala hal, kepintaran, keuangan, dukungan bahkan kelicikan. Itulah politik liberal.