Seorang Direktur sebuah pengembang yang ditahan oleh Kepolisian dengan sangkaan penipuan terhadap calon pembeli perumahan subsidi yang ditawarkan oleh perusahaan pengembang yang dipimpinya melakukan upaya pra peradilan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang mempersoalkan tata cara penyidik Polresta Bandar Lampung penanganan perkara korporasi yang dinilai tidak berpedoman pada Perma no 13 tahun 2016.
Perma itu mengatur tata cara penanganan perkara korporasi  seperti disebutkan dalam pasal 1 ayat 8 , Tindak Pidana oleh Korporasi adalah tindak pidana yang  dapat  dimintakan  pertanggungjawaban  pidana  kepada korporasi sesuai dengan undang-undang  yang mengatur  tentang korporasi.
Selanjutnya, pasal 1 ayat 10 menyebutkan  Pengurus  adalah  organ  korporasi  yang  menjalankan pengurusan  korporasi  sesuai  anggaran  dasar  atau undang-undang  yang  berwenang  mewakili  korporasi, termasuk mereka yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil  keputusan,  namun  dalam  kenyataannya dapat  mengendalikan  atau  turut  mempengaruhi kebijakan  korporasi  atau  turut  memutuskan  kebijakan dalam  korporasi  yang  dapat dikualifikasikan  sebagai  tindak pidana.Â
Dalam persyaratan pengembang adalah berbentuk perseroan terbatas yang disahkan oleh Menteri hukum dan Ham, memasuki hubungan perbankan ada syarat lagi yaitu menjadi anggota asosiasi pengembang dan memiliki izin terkait pengusahaan perumahan. Dalam perkara ini, BPN telah menerbitkan sertifikat dimana sebelum menerbitkan sertifikat, kepala BPN mengeluarkan Surat Keputusan dengan payung hukum undang-undang yang berlaku.
Dalam perkara ini, Direktur perseroan yang bernama Hendra disangka melakukan penipuan terhadap  puluhan calon pembeli perumahan yang ditawarkan oleh perseroan yang dipimpinya.
Atas status tersangka yang dikenakanya, dia mengajukan gugatan pra peradilan, pada jadual sidang pertama, penyidik kepolisian tidak hadir, ternyata perkara sudah dilimpahkan. Pada sidang kedua beberapa hari kemudian sidang dilanjutkan, pada sidang ini saya dimintakan kesaksian, namun dari pihak kepolisian menyatakan tidak siap.Â
Sore hari saya dihubungi oleh pengacara, saya mendapat  pemberitahuan dari pengacara pemohon, hari senin sudah di jadual sidang pokok perkara yang artinya pra peradilan gugur sebelum pihak kepolisian memberikan kesaksian.
Jika apa yang disampaikan oleh pengacara ini benar, maka upaya menggugurkan sidang pra peradilan sama seperti halnya menggugurkan pra peradilan Setya Novanto oleh KPK.
Hanya bedanya, yang dipersoalkan adalah menyangkut tata cara penanganan perkara korporasi dimana disebutkan dalam pasal 2 Perma no 13 tahun 2016 Â adalah sebagai berikut :
Maksud  dan  tujuan  pembentukan  tata  cara  penanganan perkara tindak pidana oleh Korporasi adalah untuk:Â
a. Menjadi  pedoman  bagi  penegak  hukum  dalam  penanganan  perkara  pidana  dengan  pelaku  Korporasi dan/atau Pengurus;  Â
b. Mengisi  kekosongan  hukum  khususnya  hukum  acara pidana dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus; danÂ
c. Mendorong  efektivitas  dan  optimalisasi  penanganan perkara  pidana  dengan  pelaku  Korporasi  dan/atau Pengurus.Â
Khusus menyangkut poin b, jika tidak ada hukum yang mengaturnya, hal ini memungkinkan penyidik menafsirkan anggaran dasar perseroan sesuai kepentingan.
Sebagai pengalaman saya, ketika saya mengalihkan saham sebesar 25 % ditafsirkan 100 % dan kesepahaman tetang asset perseroan berupa tanah ditafsirkan sebagai jual beli tanah. Hal ini dimungkinkan karena penyidik tidak menggunakan anggaran dasar perseroan dan mengabaikan SK menteri Hukum dan Ham sehingga tidak dapat membedakan kedudukan hukum pengurus dengan kedudukan hukum selaku pribadi.
Apa yang terjadi kemudian, rekayasa demi rekayasa dalam alas dasar proses peralihan hak tanah milik perseroan sebab berpedoman kepada proses di kepolisian yang tidak menggunakan anggaran dasar dan SK menteri hukum dan Ham.
Dalam kata lain, penyidik dapat merubah anggaran dasar perseroan dan fakta yang saya temui, 25 % saham disebut 100 % dengan cara mengatur pertanyaan kepada saksi bahwa saham itu 100 % milik saksi untuk melegalkan tidak digunakan anggaran dasar dan SK Menteri.
Seperti halnya dalam penanganan PT Patala, Penyidik diduga hanya berpedoman pada KUHAP dan tidak menyentuh perseroan sehingga prestasi yang dilakukan oleh perseroan untuk menyiapkan lahan perumahan yang sedang dilakukan tidak tersentuh.
Pandangan hukum antara tanah dan bangunan adalah subjek hukum yang berbeda yang menjadi alasan bahwa pembeli membeli rumah, rumah tidak ada menjadi unsur penipuan.
Dalam praktek pengembang memang menawarkan penjualan rumah yang  umumnya disebutkan luas tanah dan luas bangunan. Sehingga jika, pandangan hukum memisahkan tanah dan bangunan dipisahkan, maka semua pengembang ketika menerima uang muka penjualan sudah berpotensi menjadi tindakan pidana.  Sebab perkara yang menimpa pemohon pra peradilan, perseroannya baru menerima uang muka pesanan rumah.
Kalau dilihat dari duduk perkaranya, BPN telah menerbitkan sertifikan yang sebelumnya kepala BPN mengeluarkan Surat Keputusan yang didasarkan pada undang-undang dan peraturan lainnya sebagai payung hukum.
Namun terjadi tarik ulur pemberian izin karena areal tersebut masuk zona merah atau areal konservasi. Mestinya, BPN wajib mengeluarkan izin peralihan penggunaan tanah ( IPPT ) mengacu pada surat keputusan yang diterbitkannya.
Dalam hal ini pengembang sudah melakukan prosedur dalam membangun perumahan dan sudah mengeluarkan begitu banyak dana untuk mempersiapkan pembangunan rumah, namun hal ini tidak dalam jangkauan penelaahan hukum karena tanah dan bangunan adalah objek hukum yang berdeda.
Ratusan pembeli rumah berbondong bondong melaporkan direktur ini, sebuah perkara yang seharusnya menjadi sebuah solusi penyelesaian masalah namun justru menimbulkan masalah lain, investasi pengembang yang sangat besar menjadi mubazir dan hilang begitu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H