Harus diakui, SBY yang kini sebagai ketua Parta Demokrat, juga memanfaatkan kedudukannya sebagai mantan presiden pastinya menangguk keuntungan dari situasi tersebut yang mengusung putranya sendiri dalam kancah perebutan kekuasaan di DKI.
SBY pun diseret dalam konflik politik yang kian memanas, ketika kediamannya digerudug demonstran, cuitanya pun bernada sama ketika mengambil simpati dalam persaingan dengan Megawati pada pilpres 2004 sebagai orang yang didzolimi.
"Didzolimi" menjadi jualan politik yang ampuh dalam meraih simpati, begitu juga apa yang dipertontonkan oleh Ahok yang juga merasa didzolimi, merasa haknya sebagai warga negara Indonesia diamputasi karena dia non muslim.
Sebetulnya tidak ada yang jujur dalam politik karena tujuannya adalah tahta, tahta menguasai kue yang membuat mabuk siapa saja. Â Contoh yang kecil saja, polisi menyita sebuah mobil yang berisi nasi bungkus dari massa yang menggerudug rumah kediaman SBY sehingga menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah aksi itu panggilan jiwa ? Sangat mungkin mereka adalah para penerima order demo yang marak menjadi lahan bisnis politik.
Tak pelak lagi, persaingan politik di DKI menguaras banyak energi dan adu kekuatan keuangan untuk menggerakkan massa yang menjadikan biaya politik sangat mahal dan dari mana mengembalikan modal kalau tidak dari rakyat juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H