Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Telolet di Tengah Intrik Politik

25 Desember 2016   02:13 Diperbarui: 25 Desember 2016   08:37 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau saya berpergian jarak jauh di Pulau Jawa, sering saya memilih jalan alternatif meliwati pedesaan dan persawahan, istirihat dibawah pohon rindang menghirup udara segar menghilangkan penat. 

Kadang, penduduk menghampiri menyapa karena saya menggunakan plat nomor Sumatera. Rupanya banyak diantara mereka mencari tambahan penghasilan di Sumatera saat musim panen tebu atau memburuh diperkebunan lainnya. Pada musim tanam padi banyak diantara mereka kembali kekampung halaman bercocok tanam dan kemudian kembali lagi ke Pulau Sumatera untuk memburuh.

" Sampeyan dimana ? Tanya saya, mereka menyebutkan daerah  pedalaman yang sebenarnya ratusan kilometer jaraknya dengan tempat tinggal saya di Bandar Lampung, namun bertemu seperti itu timbul rasa persaudaraan, sama-sama perantauan.

Demikian pula pada sektor kontruksi yang saya geluti, hampir 90 % umumnya para pekerja etnis jawa, tipikal orang-orang bersahaja dan tak banyak tuntutan.  Lain hal nya dengan kehidupan kota Jakarta atau kota-kota besar lainnya, sifat individualisme lebih menonjol,  sifat gotong royong sudah pudar.

Dalam pola pikir masyarakat pedesaan, hari pencoblosan untuk memberikan hak suara menjadi hari istimewa, pulang kampung menjadi wajib.  Masyarakat yang polos ini dalam memandang pemimpin yang dipilihnya adalah orang yang baik, orang yang mau memberi sesuatu yang  real, bukan janji.

Tak mengherankan, ketika berlangsung pesta demokrasi tersebut, semua kontestan menjadi orang baik yang diukur dari ringan tangan untuk memberi secara riel. Kegagalan dalam bersaing, alamat kerugian yang harus ditanggung bahkan tak tertanggungkan sehngga mengganggu jiwanya.

Dalam masyarakat perkotaan yang relatif lebih dinamis, lebih mudah terpengaruh oleh isu-isu politik yang berhembus. Intrik politikpun memenuhi jagat maya bisa ditemui sehari-hari dalam media sosial. 

Ditengah intrik politik yang semakin memanas, fenomena Telolet seolah menjadi pendingin suasana hingga Waprespun ikut bersuara mengenai fenomena yang mendunia ini, sejenak melupakan kegaduhan politik yang terjadi.

Para pemangku jabatanpun tak tinggal diam dengan beragam pandangan, fenomena tersebut membahayakan keselamatan, fenomena itu melanggar ketentuan, suara klakson melebih batasan kebisingan 80 desibel sebagai gambaran mengerti peraturan yang pada intinya fenomena tidak baik.

Masyarakat pedesaan yang polos seperti diatas menegerti peraturan kalau diberi contoh, menerima bingkisan bukanlah tindakan yang salah karena kontestan politik memberikan contoh yang pada akhirnya korupsi merajalela karena harus mengembalikan modal. 

Demikian juga anak-anak menjadi senang, , para sopir  bus ikut senang dapat memberikan hiburan sekaligus menghiilangkan penat dengan suara telolet.  Namun kesenangan tersebut dimata para pemangku jabatan adalah salah. Disinilah yang menimbulkan pertanyaan, apakah rakyat ingin dibuat senang atau harus selalu menerima kesalahan ?

Dari fenomena yang mendunia ini, terlihat tipikal asli dari kekuasaan negeri ini yang selalu mencari kesalahan mulai dari jalan raya sampai kesemua lini yang tak lain menjadi budaya suap, korupsi, penyalah gunaan kewenangan dan lain sebagainya karena kesalahan menjadi monopoli rakyat.

Ketika rakyat menilai seorang pejabat melakukan kesalahan maka yang harus dilihat adalah niatnya.  Mungkin inilah salah satu yang mendorong timbulnya aksi 212. Apakah pengadilan dapat menyelesaikan masalah  ?

Barangkali kita dapat mengaca dari fenomena Telolet yang mendunia yang berangkat dari kesenangan anak-anak, bahwa kegaduhan politik yang berlarut-larut karena budaya saling menyalahkan dan merasa paling benar.  Para masyarakat pedesaan atau  anak anak hanya ingin  gembira tapi tak luput dari sasaran kesalahan yang sudah sangat membudaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun