Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benarkah Kematian Mirna karena Pembunuhan?

1 Oktober 2016   00:08 Diperbarui: 1 Oktober 2016   11:54 3157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kombes Krishna Murti yang mencuat namanya ketika terjadi aksi teroris di Jl. MH Thamrin Jakarta, sempat diangkat menjadi Wakapolda Lampung sebelum dimutasi ke Mabes Polri, kini namanya mencuat lagi oleh dugaan pelanggaran kode etik dalam penanganan tewasnya Mirna Salihin. 

Namun, menyangkut dugaan pelanggaran kode etik, Kapolri sebagaimana diberitakan mungkin saja hal tersebut merupakan trik penyidikan untuk mendapatkan pengakuan.

Sejak kasus tersebut mencuat kepermukaan, berbagai pihak menilai keputusan mentersangkakan Jessica sebagai pelaku tunggal pembunuhan berencana terlalu gegabah dan seperti yang diketahui dalam persidangan panjang yang disiarkan secara live dipenuhi oleh kegaduhan dan perdebatan. Bahkan terungkap dalam persidangan adanya indikasi rekayasa barang bukti rekaman CCTV dan tidak dilakukan otopsi jenazah secara lengkap untuk mengetahui penyebab kematian Mirna.

Ada orang mati setelah minum kopi, demikian dikatakan oleh salah seorang majelis hakim, atau tanpa saksipun hakim bisa memutuskan bersalah seperti  vonis yang pernah dijatuhkannya mewarnai sidang yang sebelumnya media berdasarkan statemen penyidik sempat menjustifikasi Jessica sebagai pelaku pembunuhan sebelum pembuktian.

Belakangan, dalam hal apapun, media dapat digunakan sebagai pembangunan opini publik yang membawa misi kedua belah pihak yang saling berlawanan dan begitu gencarnya pemberitaan mengenai Jessica sebelumnya mungkin saja dapat menjadi bumerang bagi aparatur penegak hukum jika Jessica dibebaskan.

Inilah yang menjadi permasalahan utama dalam implementasi penegakkan hukum yang menyangkut rasa tanggung jawab. Dalam kasus pidana, sering terjadi tangkap terlebih dahulu dengan alasan pengamanan selama 3 X 24 jam dan pengakuan menjadi bukti permulaan untuk mentersangkakan seseorang agaknya hal ini juga dilakukan terhadap Jessica yang disampaikan didalam persidangan. 

Memang, membujuk, memaksa agar mengakui adalah tehnis penyidikan, namun mengandalkan CCTV sebagai bukti utama sebagaimana persidangan Jessica sangat mungkin direkayasa.

Seperti apa yang yang temui, dalam sebuah kasus, saya dimintai menjadi saksi, ketika barang bukti kepemilikan tanah bukan milik pelapor, saya pertanyakan atas dasar apa pelapor diterima laporannya. Karena pertanyaan saya yang demikian akhirnya saya tidak jadi diambil keterangannya. Namun, beberapa waktu berselang ternyata laporan tersebut bisa naik kepersidangan, ketika saya diminta memberikan kesaksian oleh terdakwa, saya ketahui, tanah dan bangunan dipisahkan, mengadili pengrusakan kunci karena terdakwa memasuki rumah dan menghuninya.

Terbaca setting hukum, menggunakan pasal pidana tujuannya untuk memaksa pergi terdakwa dari rumah yang dihuninya. Akhirnya majelis hakim memutuskan terdakwa dinyatakan bersalah merusak kunci namun dengan pertimbangan karena pihak kepolisian maupun kejaksaan tidak melakukan penahanan, terdakwa tidak perlu ditahan.

Tak lama berselang, dia ditangkap dengan sangkaan kepemilikan narkoba. Saya diajak untuk membesuknya oleh seseorang anggota polisi untuk membesuknya, saya mendapat penjelasan diduga karena kepemilikan narkoba dan menjadi DPO atas kasus kepemilikan rumah. Kebetulan saya mengerti putusan menyangkut rumahnya, saya menyarankan agar melakukan upaya pra peradilan karena saya melihat adanya indikasi akal2an yang targetnya mengusirnya dari rumah yang dihuninya.

Indikasi saya tidak meleset, penyidik menggunakan tersangka yang menjadi saksi  untuk membidiknya yang diduga tidak ada orangnya atau fiktif. Putusan pra peradilan yang memenangkan penyidik itu disampaikan ke kejaksaan, ternyata kemudian terbukti penyidik tidak dapat menghadirkan tersangka dan menjadi saksi yang diduga fiktif, Setelah menjalani tahanan selama 120 hari ditambah 3 hari, akhirnya demi hukum dia dikeluarkan. 

Begitu mudahnya menahan seseorang, sekalipun dengan bukti palsu, bisa saja seseorang menjadi pesakitan yang tentunya akan merusak masa depannya karena stigma yang diperolehnya ditengah masyarakat. Jangankan rehabilitasi, membongkar prilaku hukum yang demikian menjadi takut karena yang dihadapi adalah kekuasaan. 

Mungkin seperti itu juga yang dialamai oleh Karta dan Sengkon atau Pak De yang dinyatakan sebagai pembunuh Ditje beberapa waktu silam tak bedanya dengan Jessica yang sudah mendapat stigma pembunuh sebelum vonis pengadilan. Terlebih banyaknya kasus yang diungkap KPK penyalahgunaan jabatan hakim yang disebut wakil Tuhan di dunia ini oleh penasehat hukum Jessica.

Seperti yang disaksikan dalam peradilan Jessica, agaknya hak Jessica sudah dikesampingkan, peradilan lebih cenderung kepada menang-menangan yang dipertontonkan oleh aparatur penegak hukum dan para saksi ahli. Tak heran, persidangan diwarnai kegaduhan dan saling menyerang yang sudah keluar dari substansi mencari kebenaran dan hal semacam itu disebut trik penuntutan dan pembelaan. 

Namun yang menarik disini, ayah Mirna yang begitu yakin anaknya dibunuh oleh Jessica harus menhadapi kenyataan, tidak terungkapnya penyebab kematian Mirna  secara tepat oleh karena keputusannya sendiri yang tidak mengizinkan dilakukan otopsi jenasah secara lengkap. 

Yang menjadi pertanyaan, pakah peradilan Jessica merupakan perkara pesanan? Sebab, sejak awal media mengembangkan opini penyebab kematian Mirna karena sianida yang dalam persidangan dibantah oleh saksi ahli penasehat hukum oleh karena tidak dilakukan otopsi secara lengkap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun