Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Manakala Presiden Sudah Tidak Digubris

5 Agustus 2016   22:48 Diperbarui: 5 Agustus 2016   22:58 1356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penjaga warnet berinisial MS alias Ozan (17) dan seorang siswa SMA dianiaya oknum polisi. Penganiayaan yang dialami MS terekam dalam video berdurasi dua menit 22 detik melalui CCTV warnet. Video itu kemudian diunggah seseorang ke Facebook pada Kamis (4/8/2016). Hasilnya, publik mengecam tindakan arogan dan sewenang-wenang oknum aparat tersebut.

Atas kejadian tersebut Kapolresta Medan Kombes Pol Mardiaz Kusin Dwihananto mengatakan, oknum polisi Aiptu JS pada Rabu (3/8/2016) pagi sedang melakukan pengaturan lalu lintas. Dia melihat di Warnet Bloody banyak anak sekolah yang bermain game sehingga Aiptu JS masuk dan memberikan imbauan agar para pelajar itu segera masuk sekolah."Tujuan anggota kita ini cukup mulia. Kita ketahui, warnet-warnet ini juga rawan tindak pidana, seperti download-download pornografi, judi online. Biasanya warnet juga dijadikan tempat mangkal pelaku begal sebelum dan sesudah aksi. Dengan kejadian ini, kita harus melihat hikmahnya," ucap dia.

Cuplikan berita ini menjadi lucu sebab untuk mencitrakan polisi baik namun mendiskreditkan warnet sebagai tempat mangkal begal dan tempat berbuat pidana. Jika diyakini warnet dijadikan tempat berbuat pidana mestinya semua warnet ditutup karena melanggar perizinan. Selalu merasa benar itu sudah menjadi ciri bangsa kita, bukan hanya polisi yang bersikap demikian, anggota kabinet juga sama saja, sudah salah merebut jatah seat milik orang lain, karena merasa sebagai anggota kabinet dia merasa benar yang menimbulkan keributan dengan penumpang pesawat lainnya.

Cerita polisi paling benar bukan hanya berita tersebut, masih banyak pemberitaan yang bernada sama namun kembali pada kewenangan itu tadi, polisi memiliki kewenangan berpendapat menyatakan seseorang bersalah, walaupun bukti itu rekayasa sekalipun. Dan prilaku demikian membuat presiden kesal sehingga memandang perlu  mengeluarkan ancaman mencopot jabatan Kapolda atau Kapolres. Namun harus diakui juga, prilaku selalu merasa benar juga menghinggapi anggota kabinet dan menimbulkan kegaduhan politik yang berakhir dengan Reshufle kabinet.

Presiden Joko Widodo menilai pengakuan yang disampaikan oleh bandar narkoba yang kini sudah dieksekusi mati, Freddy Budiman, kepada Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, harus dijadikan masukan bagi aparat untuk berbenah diri. Sementara itu, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menilai, cerita bandar narkoba Freddy Budiman yang disampaikan  Haris Azhar itu tak hanya akan membuat citra Polri buruk. Cerita itu juga bisa menurunkan moral anggota polisi.

Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso mengatakan, cerita soal pengakuan Freddy Budiman, telah mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Berdasarkan informasi yang diungkapkan Haris, Freddy menyebutkan ada keterlibatan oknum BNN, TNI, dan Polri dalam bisnis yang dijalankannya. Menurut Budi, BNN, TNI, dan Polri harus dijaga kredibilitasnya. Hal ini yang menjadi dasar ketiga institusi itu melaporkan Haris ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik.  Meski melaporkan Haris, Budi mengatakan, BNN menindaklanjuti yang disampaikannya dengan membentuk tim internal untuk melakukan penelusuran. 

Terkait dengan pemberitaan yang menyudutkan institusi hukum itu, logika sederhananya yang memiliki keputusan atau kewenangan menyatakan pernyataan Haris tersebut mengandung kebenaran adalah institusi hukum, yang merasa tersudut adalah juga institusi hukum maka mudah diprediksi kalau ternyata apa yang diungkapkan Haris tersebut terbukti maka akan menjatuhkan kredibilitas intutusi negara tersebut. Tidak mungkin jeruk makan jeruk atau hukum menindak hukum. Yang menjadi pertanyaan, apa fungsi lembaga pengawasan yang ada ? Hanya menjadi penonton dengan dalih tidak memiliki kewenangan ?

Apa yang tercermin dari pemberitaan tersebut adalah sikap membela diri karena "merasa" tidak bersalah sebelum dilakukan investigasi yang juga dilakukan oleh institusi itu sendiri. Sehingga apa yang terjadi terkesan terjadi pembangkangan terhadap keinginan Presiden. Namun jangan pula langsung menjustifikasi, bisa jadi adalah trik media agar terdorong dilakukan investigasi secara sungguh-sungguh walaupun kemungkinan menjadi pil pahit bagi citra aparatur penegak hukum itu sendiri.

Apa yang diberitakan menyangkut pernyataan baik Kapolresta maupun Kapolri pada dasarnya sama menganut azas praduga tidak bersalah dengan argumentasinya walaupun bukti itu diketahui publik. Persoalannya, hukum yang berlaku menganut dua alat bukti, dan Haris harus menunjukkan alat bukti yang dapat diterima.

Cerita soal alat bukti tersebut juga saya alami, semua alat bukti yang saya sampaikan ditolak penyidik karena hanya berupa fotocopy dokumen kepemilikan perseroan. Itulah hukum, bisa saja penyidik menolak  bukti yang saya berikan tersebut karena alat bukti yang diakui harus asli. Ya sudah mau apalagi, saya tidak perlu melakukan pembelaan, suka-suka ujar saya, masalah pasti akan berbalik. 

Belakangan notaris yang menjadi saksi terpaksa mengakui menyimpan dokumen otentik dan memberikan dokumen otentik  anggaran dasar perseroan dan dokumen lainnya kepada pelaku, sementara yang digunakan sebagai alat bukti isinya diganti atau dipalsukan. Tentunya saya tidak dapat membuktikan dokumen itu palsu karena tidak ada dokumen pembandingnya.

Diperolehnya pengakuan tertulis dari notaris tersebut perkarapun berbalik dan apa yang terjadi, semua tidak ingin disalahkan alhasil mereka berkelahi sendiri. Saling berkelahi itu bukan hanya diantara para saksi namun antar penyidik sendiri. Caranya saya membuat banyak laporan, laporan harus dijawab, hasilnya terbongkar sendiri karena jawaban penyidik yang satu dengan penyidik lainnya saling bertabrakan. 

Saya tidak perlu perkara diproses, yang saya perlukan adalah jawaban tertulis untuk bahan dipengadilan. Muncul kelucuan lagi, agar lepas dari jerat tuntutan, kesaksian dari saksi yang saya ajukan didalam sidang dipalsukan. Akhirnya pelaku berteriak, semua diganggu oleh saya, saya sudah habis lebih dari 10 milyar akunya.  Itulah tujuan saya, menjadikan dia ATM besar2an. 

Tagihlah saya, berapapun anda habis, akan saya bayar dengan syarat tulis secara terinci untuk membayar apa saja nanti saya kirim ke KPK kata saya berseloroh di depan petugas BPN. Tak lama berselang, laporan mengenai dugaan pemalsuan alas dasar peralihan hak tanah atas nama perseroan langsung diusut oleh Kanwil BPN.  Mungkin saja seloroh saya mengena dan mungkin juga ada kekhawatiran pelaku bernyanyi, tiba-tiba pelaku mengajukan pembukaan blokir, bukan dibuka akan tetapi petugas gabungan BPN turun kelokasi menindak lanjuti laporan saya.

Apa yang saya temui merupakan sebuah trik hukum memanfaatkan kewenangan pendapat yang dimiliki aparatur hukum, melaporkan pengacara saya melakukan pelanggaran penggunaan kop surat dengan alasan perseroan bukan milik saya. Tapi sayangnya, menetapkan keabsahan kepemilikan tanah bukan kewenangan polisi alhasil yang diperoleh pelaku adalah hutangnya, sedangkan assetnya tidak dapat dikuasai.

Itulah pengalaman saya yang harus melakukan pertarungan panjang, perkiraan saya, dengan modal kurang dari Rp 5 juta, lawan saya buat habis mungkin mencapai Rp 500 juta karena tidak mau dipenjara oleh perbuatannya sendiri. Saya lakukan hal yang sama berulang-ulang yang pastinya menguras isi kantong pelaku.  Akhirnya dia berteriak karena hartapun melayang, teriakannya mungkin saja menakutkan banyak pihak, mungkin sebuah jebakan betmen, dia diminta mengajukan permohonan blokir, tapi dugaan pemalsuanpun langsung ditindak lanjuti, dialah pelakunya.

Apa yang saya alami tersebut, bahwa mungkin saja aparatur hukum melakukan penyalah gunaan wewenang, OTT KPK membuktikan penyalah gunaan kewenangan memang sulit dibuktikan sehingga harus dilakukan operasi intilejen hingga dapat tertangkap tangan guna bukti hukum. Mungkin yang harus dihadapi oleh Haris adalah pembuktiannya yang belum tentu dapat diterima secara hukum. Kalau Jokowi saja tidak digubris, apalagi Haris demi menjaga citra bersih itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun